Minggu, 21 April 2013

Rekombinasi Genetika


                                                               REKOMBINASI
                                                                             
A.      Pengertian Rekombinasi
Peristiwa yang sering terjadi di dunia genetika sebagai pemicu terjadinya evolusi adalah rekombinasi, rekombinasi merupakan suatu peristiwa yang dapat menjelaskan bagaimana suatu makhluk hidup terbentuk. Dugaan tentang rekombinasi sudah diajukan sejak 1911, tetapi hukti fisik pertama tentang rekombinasi baru ditemukan pada 1931. Sudah ada pendapat yang menyatakan bahwa rekombinasi merupakan proses seluler esensial; dan dinyatakan pula bahwa semua molekul DNA merupakan DNA rekombinan.
Rekombinasi antara lain diartikan sebagai peristiwa pembentukan asosiasi baru molekul-molekul DNA atau kromosom. Antara rekombinasi dan mutasi tidak ada hubungan, sekalipun sama-sama menimbulkan perubahan materi genetik. Di dalam proses evolusi, rekombinasi merupakan salah satu cumber variasi genetik. Peran rekombinasi yang lain adalah memungkinkan sel memperbaiki urut-urutan nukleotida yang hilang misélnya akibat radiasi atau senyawa kimia. Rekombinasi tertentu juga ikut mengatur ekspresi gen. Salah satu model kejadian rekombinasi yang umum dikenal adalah model Holliday, yang berlaku bagi makhluk hidup prokariotik, eukariotik bahkan fag. Selain pertukaran unting-unting resiprok pada model Holliday, di lingkungan makhluk hidup eukariotik diketahui ada juga pertukaran unting yang tidak resiprok (asimetrik).

B. Pindah Silang pada Meiosis Makhluk Hidup Eukariotik
Peristiwa pindah silang sudah jelas diketahui terjadi selama sinapsis dari kromosom-kromosom homolog pada zygoten dan pachiten dari profane I meiosis (Gardner, dkk., 1984). Dalam ini tentu saja yang dimaksud adalah pindah silang pada makhluk hidup yang pembelahan reduksinya berlangsung selama meiosis I. Gardner dkk. (1984) menyatakan pula bahwa karena replikasi kromosom berlangsung selama interfase,maka peristiwa pindah silang itu terjadi pada tahap tetrad pasca replikasi pada saat tiap kromosom telah mengganda, sehingga telah terbentuk empat kromatid untuk tiap pasang kromosom homolog.
Peristiwa pindah silang terjadi antara keempat kromatid itu, tetapi yang terjadi antara dua kromosom sesaudara (dari satu kromosom) jarang dapat dideteksi. Bcrkenaan dengan hal ini, Gardner dkk. (1984) menyatakan "Pindah silang juga mencakup kromati-kromatid sesaudara (dua kromatid dari satu kromosom), tetapi pindah silang tersebut secara genetik jarang dapat dideteksi karena kromatid-kromatid sesaudara biasanya identik". Jelaslah peristiwa pindah silang yang secara genetik mudah dideteksi adalah yang berlangsung antara dua kromatid bukan sesaudara (non-sister chromatids).
Beberapa fungsi rekombinasi genetik adalah memelihara perbedaan genetik, sistem perbaikan DNA khusus, regulasi ekspresi gen tertentu, dan penyusunan kembali genetik yang diprogram selama perkembangan. Secara garis besar ada tiga tipe rekombinasi genetik yang sudah banyak diketahui, yaitu (1) rekombinasi homolog/ umum, (2) rekombinasi khusus (site-specific rekombination), dan (3) rekombinasi transposisi/ replikatif pada makhluk hidup.
            Rekombinasi Homolog Rekombinasi homolog menyebabkan terjadinya pertukaran antarmolekul DNA yang merupakan homologi urutan nukleotida cukup besar. Ciri khusus rekombinasi homolog adalah bahwa proses tersebut dapat terjadi setiap titik di daerah homologi. Rekombinasi terjadi melalui tahap pemotongan untaian DNA yang kemudian diikuti dengan proses penggabungan kembali. Rekombinasi antarkromosom melibatkan proses pertukaran sekara fisik antara bagian-bagian kromosom.
Proses rekombinasi terjadi sekara akurat sehingga tidak ada satupun pasangan basa nukleotida yang hilang atau ditambahkan ke dalam kromosom rekombinan. Proses pertukaran tersebut menyebabkan terbentuknya struktur yang dapat terlihat sebagai kiasma (chiasma) pada waktu meiosis. Kiasma merupakan tempat pemotongan dan penggabungan kembali untai DNA, yaitu ketika dua kromatid yang berbeda (non-sister chromatids) terpotong dan tergabungkan satu sama lain. Rekombinasi homolog dimulai ketika dua kromosom homolog terletak berdekatan satu sama lain sehingga urutan nukleotida yang homolog dapat dipertukarkan. Kontak antara dua pasang kromosom tersebut, disebut sebagai proses sinapsis, terjadi pada awal meiosis yaitu pada profase.
             Rekombinasi Khusus , Berbeda dari proses rekombinasi homolog, rekombinasi khusus hanya terjadi pada tempat khusus di dalam segmen molekul DNA. Pertukaran materi genetik dilakukan oleh protein khusus yang mengkatalisis pemotongan dan penggabungan molekul DNA sekara tepat pada tempat terjadinya rekombinasi. Proses rekombinasi semakam ini tidak tergantung pada protein recA. Rekombinasi khusus mempunyai beberapa kirri, yaitu: (i) proses rekombinasi terjadi di tempat khusus pada kedua fragmen DNA, (ii) rekombinasi berlangsung timbal balik (reciprocal), artinya kedua hasil pertukaran genetik tersebut dapat diperoleh kembali, (iii) rekombinasi terjadi sekara konservatif, artinya proses pertukaran genetik tersebut dilakukan melalui pemotongan dan penyambungan kembali bagian DNA yang berekombinasi tanpa ada sintesis nukleotida baru, dan (iv) bagian yang mengalami rekombinasi tersebut mempunyai homologi dalam hal urutan nukleotida. Proses rekombinasi khusus dimulai dengan terjadinya pemotongan bagian DNA yang akan berekombinasi pada daerah yang mempunyai homologi sehingga dihasilkan ujung lekat (sticky end). Kedua ujung lekat pada kedua fragmen DNA yang berekombinasi tersebut kemudian mengalami pertukaran untai DNA sehingga akan terbentuk konfigurasi rekombinan.
            Rekombinasi Meiotik, Rekombinasi meiotik adalah proses rekombinasi yang terjadi pada jasad eukaryotik pada saat terjadi proses meiosis. Dalam beberapa hal mekanisme rekombinasi meiotik menunjukkan kemiripan dengan proses rekombinasi homolog pada bakteri meskipun beberapa tahapan awalnya berbeda. Proses rekombinasi meiotik pada eukariot dimulai dengan adanya pemotongan dua untai DNA (double-strand break) yang ada pada salah satu kromosom.
            Pada organisme eukariot, rekombinasi genetik terjadi melalui penggabungan seksual sel telur dan sel sperma. Di dalam proses ini, kromosom sel sperma dan sel telur mengalami pemotongan pada titik homolog, dari potongan-potongan kromosom dari kedua sel induk lagi bertukar dan bergabung bersama-sama, menghasilkan gen kombinasi baru menghasilkan progeny yang mengandung berbagai sifat fenotip yang diturunkan dari kedua induk. Pemotongan, penyusunan kembali, dan bersatunya gen dan serangkaian gen selama konjugasi seksual pada eukariot terjadi dengan ketepatan yang tinggi tanpa mengganggu kerangka pembacaan atau isyarat pada urutan DNA. Pada bakteri yang tidak menjalani meiosis, rekombinasi genetik terjadi pada seperti konjugasi antara dua kromosom homologous yang terjadi selama atau segera setelah replikasi.

C.       Enzim-Enzim pada Rekombinasi
            Analisis genetik sudah mengungkap enzim-enzim yang berperan pada proses rekombinasi yang umum atau lazim pada E. coli. Dalam hal ini skrining sel-sel F- E coli yang sudah mengalami mutasi dengan bantuan teknik replica plating memungkinkan orang mengidentifikasi koloni-koloni mutan pada cawan mula-mula yang tidak dapat membentuk rekombinan setelah berkonjugasi dengan sel-sel Hfr pada replica plate. Mutan-mutan yang tidak dapat melakukan rekombinasi tersebut ternyata bersangkut paut dengan tiga gen yang disebut recA, recB dan recC.
 Enzim-enzim yang Dikode Gen recA, recB dan recC
            Protein recA merupakan suatu enzim yang berperan pada rekombinasi umum (lazim) maupun pada perbaikan DNA (Ayala,dkk., 1984). Gen recA memang dibutuhkan untuk peristiwa rekombinasi umum pada E. Coli. Pada kondisi in vitro protein tersebut yang telah dimurnikan mengkatalisasi (membantu) pembentukan struktur Holliday (Ayala, dkk., 1984, Watson, dkk., 1987). Dalam hal ini protein-protein recA  berikatan pada molekul DNA unting ganda maupun unting tunggal. Protein-protein tersebut juga menggunakan energi yang diperoleh dari hidrolisis ATP untuk membuka DNA unting ganda, sehingga memungkinkan terjadinya perpasangan dengan suatu DNA unting tunggal. Hal ini memungkinkan terjadinya sinapsis molekul DNA yang memiliki urut-urutan pasangan nukleotida yang mirip (Gabar 9.1 tahap 1). Protein recA juga mengkatalisasi suatu transfer unting berikutnya sehingga terbentuklah suatu jembatan silang (struktur Holliday) yang selanjutnya diikuti dengan migrasi jembatan silang tadi (Gambar 9.1 tahap 2).
            Fungsi gen recB+ dan recC+ sudah diketahui juga. Dalam hal ini gen recB+ dan recC+ mengkode dua subunit suatu nuclease yang tergantung ATP (Ayala, dkk., 1984). Diduga bahwa nuclease itu berperan sebagai suatu “resolvase” yang memotong jembantan silang pada struktur Holliday untuk menyempurnakan proses rekombinasi.
                                                  





Gambar 9.1
Protein recA memperantarai dua kejadian transfer unting dalam rangka pembentukan jembatan silang struktur Holliday (Ayala, dkk., 1984).
            Protein recA juga memegang suatu peran utama dalam perbaikan DNA, fungsi perbaikan ini diaktifasi oleh DNA unting tunggal. Protein recA memiliki suatu aktivitas proteolitik yang distimulasi oleh DNA unting tunggal. Aktivitas proteolitik itu memotong sekurang-kurangnya dua macam molekul repressor. Salah satu repressor itu adalah represor profag lambda, yang menyebabkan induksi profag. Molekul repressor lain adalah suatu produk dari gen lex A. Represor kedua ini mengatur tingkat eksperi gen recA maupun sejumlah gen yang terlibat pada mekanisme perbaikan DNA serta fungsi survival yang disebut sebagai  fungsi SOS. Produksi protein recA  yang meningkat juga membantu pemulihan sel, mungkin dengan cara memperantarai perbaikan oleh rekombinasi antara daerah yang rusak dan yang tidak rusak dari molekul DNA turunan pascareplikasi.
            Informasi tentang peranan enzim pada proses rekombinasi khususnya yang terkait dengan struktur holliday sebagaimana yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa pembentukan maupun resolusi (pembongkaran) struktur  tersebut dibawah control genetic.
                                                        





Gambar 9.2
Bagan enzim recBC mengadakan unting tunggal untuk memulai rekombinasi  (Watson, dkk., 1987)
            Aktivitas kedua dari enzim recBC (aktivitas nuclease) yang bekerja/berfungsi selama enzim tersebut membuka lilitan DNA sangat penting (vital) fungsinya bagi rekombinasi. Eksperimen genetic menunjukkan bahwa enzim reBC paling sering mendorong terjadinya rekombinasi pada DNA yang mengandung suatu tapak yang disebut sebagai Chi, telah diketahui bahwa tapak tersebut mempunyai urut-urutan 5’-GTCGGTGG-3’. Dalam hubungan ini DNA yang sedang membuka lilitannya, suatu aktivitas nuclease spesifik dari enzim recBC memotong unting tunggal DNA di dekat tapak Chi yang sedang terbuka. Terputusnya DNA itu menyebabkan unting tunggal DNA tidak melilit kembali pada saat enzim recBC bergerak menyusuri molekul DNA (perhatikan kembali Gambar 9.2). Sebagai akibat terbentuklah suatu untaian unting tunggal berujung bebas unting tunggal DNA itulah kemudian enzim recA berikatan dan mulai mendorong terjadinya pertukaran unting DNA dengan suatu urut-urutan yang homolog.
            Sebenarnya DNA E.coli mempunyai sekitar 1000 urut-urutan Chi, atau sekitar satu Chi perlima gen. Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa sebenarnya enzim recBC memiliki banyak peluang memotong unting tunggal DNA. Di lain pihak dalam sel E. coli yang normal biasanya tidak demikian. Seperti diketahui pada sel E.coli yang normal molekul DNA tidak memiliki ujung-ujung bebas. Tapak-tapak Chi itu justru berfungsi pada saat konjugasi. Dalam hal ini pada saat konjugasi itu suatu ujung DNA dimasukkan oleh bakteri jantan dan selanjutnya diduga bahwa enzim recBC kemudian bergerak menyusuri terjadinya rekombinasi antara DNA yang diinjeksi dan DNA sel resipien.
            Disamping recA, recB dan recC ada juga beberapa gen lain yang produknya dibutuhkan untuk terjadinya rekombinasi yang efisien, sekalipun  fungsi khususnya belum diketahui. Satu enzim lain yang ikut berperan pada proses rekombinasi yang homolog adalah enzim nuclease maupun beberapa protein yang diperlukan dalam sintesa DNA (Watson, dkk., 1987). Enzim nuclease memotong sambungan Holliday sehingga memisahkan molekul DNA rekombinan. Berkenaan dengan fungsi enzim nuclease, dinyatakan bahwa enzim recBC diduga juga melaksanakan fungsi enzim tersebut. Contoh protein pada sintesis DNA antara lain protein SSB, yang membantu protein enzim recA. Enzim pada insersi λ ke dalam genom E.coli yang terjadi melalui rekombinasi
            Fag λ mengkode enzim integrase yang berperan pada saat insersi DNA fag ke dalam genom E. coli. Insersi tersebut terjadi melalui rekombinasi pada tapak-tapak spesifik ke dikedua genom DNA, dan hasil insersi melalui rekombinasi itu adalah terbentuknya satu molekul serkuler baru yang lebih besar. Perhatikan Gambar 9.3.
 


                                                              



Gambar 9.3
Bagan insersi fag ke dalam genom E. coli melalui rekombinasi spesifik tapak (Watson, dkk., 1987)

            Selain enzim integrase, insersi genom fag λ ke dalam genom E.coli juga membutuhkan protein IHF (Integration Host Factor) serta ion-ion magnesium (Watson,dkk., 1987). Tapak-tapak spesifik yang menjadi tempat berlangsungnya rekombinasi dalam rangka insersi itu adalah attP (pada genom fag λ) dan attB (pada genom E. coli).
            Berkenaan dengan peran enzim integrase itu, sudah ada pengujian yang memastikan bahwa enzim tersebut dapat berperan  pada proses penggabungan, yang pada akhirnya berakibat pada terbentuknya dua molekul DNA yang terpisah-pisah. Pengujian itu dilakukan dengan terlebih dahulu merancang terbentuknya suatu plasmid buatan yang memiliki tapak spesifik attB maupun attP, dalam orientasi yang memungkinkan terbentuknya dua molekul DNA sirkuler yang lebih kecil (Watson, dkk., 1987). Gambar 9.4 memperlihatkan bagan pengujian tersebut.
            Enzim integrase pada kenyataannya dapat berperan sebagai suatu enzim topoisomerase. Dalam hal ini enzim integrase membuat suatu pemutusan dalam posisi menyamping (tidak berhadap-hadapan), jarak antara kedua tempat yang terpotong adalah sejauh 7 nukleotida. Pemutusan unting DNA itu terjadi pada tapak attP maupun tapak attB. Perhatikan Gambar 9.5.





Gambar 9.4.
Bagan percobaan pengujian rekombinasi yang mengakibatkan terbentuknya dua molekul DNA (Sirkuler yang lebih kecil. Enzim integrase yang digunakan adalah integraseλ. (Watson, dkk., 1987)

Gambar 9.5
Rincian molekuler daerah inti tapak attP maupun aatB serta peristiwa rekombinasi yang terkait. Urut-urutan nukleotida inti tapak attP dan attB ditunjukkan dalam kotak. (Watson, dkk., 1987)

            Kajian terhadap jumlah pasangan nukleotida (pasangan basa) pada tapak attP dan attB memperlihatkan bahwa tapak attP terdiri dari 250 pasang nukleotida, sedangkan tapak attB terdiri dari sekitar 20 pasang nukleotida (Watsonk, dkk., 1987). Diketahui pula bahwa baik enzim integrase maupun protein IHF berikatan pada posisi yang berbeda sepanjang tapak attP. Segmen attP sepanjang 250 pasang nukleotida itu tampaknya melingkari enzim integrase membentuk semacam struktur seperti suatu nukleosom yang terkondensasi, dan struktur itu dapat mengandung sebanyak delapan monomer integrase yang  masing-masing berukuran 40.000 dalton. Kebanyakan daerah inti tapak attB maupun attP terdiri dari 15 pasang nukleotida.
            Kajian lain yang terkait dengan laju rekombinasi yang melibatkan tapak attP dan attB seperti tersebut menunjukkan bahwa jika urut-urutan inti pada tapak  attP maupun attB sedikit mengalami perubahan (sendiri-sendiri), laju rekombinasi sangat berkurang, tetapi jika sedikit perubahan itu terjadi pada tapak attP maupun attB (identik), maka rekombinasi masih berlansung efisien (Watson, dkk., 1987). Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa enzim integrase membutuhkan suatu homologi urut-urutan pada daerah inti, seperti halnya suatu urut-urutan khas yang merupakan tempat pengikatannya. Dalam hal ini antara unting-unting ganda sebelum dipotong dan dibuka (diurai).
            Sudah diketahui juga bahwa bilamana suatu profag λ diinduksi untuk tumbuh, maka keadaannya yang terintegrasi akan beralih dan peristiwa itu disebut sebagai eksisi; DNA fag maupun bakteri terlepas dan bebas satu sama lain. Dalam hal ini profag λ memulai eksisi dengan cara mengekspresikan suatu protein yang disebut eksionase (Watson, dkk., 1987). Protein enzim itu memungkinkan enzim integrase mengkatalisasi rekombinasi yang melibatkan tapak-tapak perlekatan hybrid dari profag. Lebih lanjut kompleks gabungan enzim integrase dan eksionase berikatan erat pada suatu tapak hybrid bakteri profag, dan keunikan yang berubah ini mendukung kemampuan enzim untuk melaksanakan reaksi yang sebaliknya (reverse).

D.      Rekombinasi Intergenik dan Pemetaan Fag Bakteri
Rekombinasi genetic di kalangan fag bakteri ditemukan selama percobaan-percobaan infeksi campuran (Klug dan Cummings, 2000 dalam Corebima, 2000). Pada percobaan infeksi campuran itu dua strain mutan dibiarkan menginfeksi satu biakan bakteri yang sama secara simultan. Oleh karena pada percobaan ini dilibatkan dua lokus (dua strain yang berbeda) maka rekombinasi  yang terjadi tergolong bersifat intergenik.
Mari kita perhatikan satu contoh percobaan yang menggunakan system E.coli T2 (Klug dan Cummings, 2000 dalam Corebima, 2000). Fag induk yang digunakan bergenotif h+r (rentang inang wild type), lisis cepat) dan hr+ (rentang inang lebar, lisis normal). Percobaan itu dilakukan oleh Hersley dan Rotman pada 1949. Sebenarnya pada percobaan itu digunakan pula strain-stain induk fag T2 yang lain, tidak terbatas hanya yang bergenotif h+r dan hr+. Pada rangkaian percobaan itu, jumlah fag yang diintroduksi cukup untuk menginfeksi  tiap bakteri dengan jumlah sekitar lima buah.
Setelah satu jam, sebagian besar atau seluruh bakteri sudah pecah dan sampel turunan fag yang berasal dari 40.000 bakteri di tiap persilangan selanjutnya dibiakkan dalam cawan petri yang telah mengandung suatu campuran E. coli strain B dan B/2. Jika pada percobaan tersebut tidak terjadi rekombinasi maka kedua genotif induk inilah yang dijumpai pada genotif turunan. Namun demikian ternyata pada percobaan itu ditemukan juga genotif rekombinan h+r+, dan hr, di samping genotif-genotif induk. Bagan percoaan itu ditunjukkan pada Gambar 2.1. Hasil percobaan tersebut yang berupa tampilan plak turunan pada cawan petri ditunjukkan pada gambar 2.2. Sebagaimana yang telah dikemukakan, cawan petri tersebut sebelumnya sudah mengandung biakan bakteri E. coli campuran strain B dan B/2. Fenotif hasil percobaan itu ditunjukkan pada gambar 2.3.  
 















Gambar 2.1 Bagan percobaan rekombinasi fag bakteri T2 memanfaatkan infeksi simultan h+r dan hr+ (Russel, 1992 dalam Corebima, 2000)






 







Gambar 2.2 Plak yang dihasilkan pada percobaan rekombinasi fag bakteri T2 yang
memanfaatkan infeksi simultan strain h+r dan hr+ (Russel, 1992 dalam Corebima, 2000).
 













Gambar 2.3 Fenotif morfologi plak yang teramati sesudah infeksi terhadap E.coli secara simultan oleh dua strain induk fag T2 yaitu yang bergenotif h+r dan hr+ (Klug dan Cummings, 2000 dalam Corebima, 2000)

Data frekuensi genotip hasil percobaan tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.1. Atas dasar data frekuensi tersebut, selanjutnya dihitung persentase rekornbinan. Dalam hal ini, seperti di lingkungan eukariot, perhitungan frekuensi (persentase) rekombinan dihitung atas dasar rumus seperti berikut. (h+r+) + (hr) / plak total x 100
Nilai frekuensi rekombinan itu merefleksikan jarak antar gen. = frekuensi rekombinan

Tabel 2.1 Tabel Percobaan Rekombinasi Fag Bakteri T2 Memanfaatkan Infeksi Simultan Strain h+r dan hr+ (Klug dan Cummings (2000) dalam Corebima, 2000).
Genotip

Frekuensi (%) plak
Frekuensi (%) turunan
Tipe Induk
Tipe Rekombinan
hr+
h+r
h+r+
hr
42
34
12
12
   76


   24


Pertukaran genetik yang menyebabkan bcrlangsungnya rekombinasi intergenik yang terjadi pada fag bakteri T2 yang sebagian datanya ditunjukkan pada Tabel 2.1, tampaknya bersifat resiprok. Data selengkapnya hasil percobaan rekombinasi fag bakteri T2 memanfaatkan infeksi simultan yang dilakukan Hershey dan Rotman ditunjukkan pada Tabel 2.2 (gen penanda r terdiri dari tiga mutan). E.coli dengan gen penanda h dan r (Strickberger, 1985 dalam Corebima, 2000).
Tabel 2.2 Data frekuensi rekombinasi selengkapnya hasil percobaan Hershey dan Chase yang memanfaatkan infeksi simultan fag bakteri T2.
Persilangan

Turunan, persentase
h+r+
hr+
h+r
hr
hr1+ >< h+r1
hr1 >< h+r1+
hr7+ >< h+r7
hr7 >< h+r7+
hr13+ >< h+r13
hr13  >< h+r13+
12
44
5.9
42              
0.74
50
42
14
56
7.8
59
0.83
34
13
32
7.1
39
0.76
12
29
6.4
43
0.94
48
Data yang terlihat pada tabel 14.2 jelas memperlihatkan bahwa pada tiap persilangan itu, kedua kelompok tipe rekombinan mempunyai frekuensi yang hampir sama. Itulah alasannya bahwa tampaknya rekombinasi yang terjadi itu bersifat resiprok. Selain itu data pada Tabel 14.2 itu juga memperlihatkan adanya pola kelompok pautan tertentu. Sebagai contoh misalnya frekuensi rekombinasi pada persilangan h-r13 sebesar antara 25-30 % di satu pihak, dan pada persilangan h-r sebesar 1-2 % di pihak lain. Dalam hubungan ini mutan-mutan r yang terletak di daerah kromosom fag yang berbeda diberi notasi tersendiri  misalnya rl, r7, dan sebagainya.
Berkenaan dengan adanya kelompok pautan tertentu seperti yang telah dikcmukakan, atas dasar percobaan-percobaan yang telah dilakukan, Hershey dan Rotman menemukan bahwa, mengacu kepada frekuensi rekombinan yang kecil banyak gen yang terangkai bersama (berdekatan) sebagai satu kelompok, selalu menunjukkan jarak kelompok pautan yang sama sebesar 30% (Strickberger, 1985). Daiam hubungan ini Hershey mengajukan hipotesis yang menyatakan bahwa ada tiga kelompok pautan pada fag T2; dinyatakan pula bahwa proses penggabungan (kombinasi) secara bebas (independent assortment) antara kelompok-kelompok pautan itu ditandai oleh frekuensi rekombinasi sebesar 30%, dan bukan sebesar 50% sebagaimana yang biasanya diharapkan pada makhluk hidup yang lebih tinggi.
Atas dasar hasil percobaan-percobaan yang dilakukan Hershey dan Rotman (yang menggunakan strain-strain fag T2 memang terungkap bahwa, sekalipun ditemukan berbagai jarak pautan (frekuensi rekombinasi), tidak ada satu pun yang pernah melampaui frekuensi 30%. Ketiga kelompok pautan fag T2 tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.4.
 





Gambar 2.4 Ketiga kelompok pautan pada fag bakteri T2 yang ditemukan oleh Hershey dan Rotman (Strickberger, 1985 dalam Corebima, 2000).
Percobaan rekombinasi yang memanfaatkan infeksi simultan seperti tersebut sudah dilakukan dengan menggunakan sejumlah besar gen mutan berbagai fag bakteri, tidak hanya terbatas pada fag T2. Dalam hubungan ini dilakukan juga percobaan rekombinasi fag bakteri yang memanfaatkan infeksi simultan tiga strain yang melibatkan tiga gen. Hasil percobaan yang memanfaatkan infeksi simultan tiga strain itu bahkan digunakan untuk pemetaan gen fag. Hershey dan Chase sudah melakukan upaya itu, dengan menggunakan tiga strain fag T2 (Strickberger, 1985 dalam Corebima, 2000). Tiap strain tersebut melibatkan gen h, m, dan r. Hasil percobaan itu ditunjukkan pada tabel 2.3
Tabel 2.3 Hasil Percobaan Rekombinasi fag Bakteri T2 Memanfaatkan Infeksi Simultan Tiga Strain yang masing-masingnya Melibatkan Tiga gen (Strickberger, 1985 dalam Corebima, 2000)
Persilangan
                                                  Turunan
h+m+r+
h+m+r
hm+r+
h+mr+
hm+r
hmr+
h+mr
hmr
hm+r1+><h+mr1+><h+m+r1
25
22
17
12
9
5
7
2
25
15
18
20
4
10
5
3
hmr1+><h+mr1><hm+r1
3
5
6
10
17
19
14
26
2
4
9
9
14
26
15
20
Kejadian rekombinasi yang datanya terlihat pada tabel 14.3 hanya dapat terjadi karena ada pertukaran genetik antara ketiga strain; pertukaran genetik itu berlangsung melalui dua alternatif cara: 1) terjadi dua rekombinasi berturutan dalam sel yang sama; rekombinasi pertama berlangsung antara kromosom dua strain, sedangkan rekombinasi kcdua berlangsung antara strain rekombinan yang telah terbentuk dan strain ketiga; 2) terjadi "perkawinan serempak" antara ketiga kromosom dari ketiga strain pada suatu waktu yang sama. Di antara kedua alternatif cara itu, manakah yang sesungguhnya terjadi belum diketahui.
Kejadian unik yang menyebabkan berlangsungnya rekombinasi pada fag, temyata juga berdampak terhadap nilai interferensi genetik, yang bersangkut paut dengan perhitungan frekuensi rekombinasi pada daerah kromosom fag yang berdekatan. Pada kebanyakan makhluk hidup, nilai interferensi genetik positif (akibat nilai koefisien koinsidensi kurang dari 1) yang berarti bahwa peristiwa pindah silang yang terjadi pada suatu daerah kromosom akan menghambat pindah silang pada suatu daerah kromosom di dekatnya. Sebagai contoh misalnya pada persilangan abc >< abc, jika interfensi genetik positif berarti bahwa pindah silang yang berarti bahwa pindah silang yang terjadi pada daerah kromosom antara ab akan menghambat pindah silang yang terjadi antara bc.  Pada kondisi semacam itu nilai frekuensi rekombinasi ganda (akibat pindah silang ganda) yang diobservasi lebih rendah disbanding nilai harapan.
Pada banyak persilangan antara fag, dan lain pihak nilai, interverensi genetic justru negative, akibat nilai koovisien koinsidensi lebih besar dari 1. Hal itu berarti bahwa pindah silang pada suatu daerah kromosom akan meningkatkatkan kejadian pindah silang kromosom di dekatnya. Pada kondisi semacam ini nilai frekuensi rekombinasi ganda (akibat pindah silang ganda) yang diobservasi lebih tinggi dibandingkan nilai harapan. Mari kita perhatikan hasil suatu persilangan tiga gen (factor) antara strain-strain fag ƛ yang dilakukan oleh Kaizer (Strickberger, 1985). Hasil persilangan fakta factor tersebut ditunjuk pada table berikut Tabel 2.4.
Table 2.4 Hasil persilangan tiga factor Kaizer antara strain-strain mutan fag ƛ s + mi >< + co1 + (Strikberger, 1985 dalam Corebima 2000)
Jumlah total
Turunan Persentase
12324
+++  s co mi   s ++   + co mi   s co +  ++ mi     s + mi    +  co+

0.31   0,19      2,21     2,58      0,91     0,98       51,84       40,98
Catatan:
S – co   = 0,31+0,19+0,91+0,98 = 2,39
co-mi   = 0,31+0,19+2,21+2,58 = 5,29
s-mi      = (0,21+2,58+0,91+0,98)+2 (frekuensi rekombinasi ganda)= 6,68+2(0,50) = 7,78
Data pada table 14.4 memperlihatkan bahwa frekuensi rekombinasi ganda harapan adalah 0,0239 X 0,0529 = 0,00126 atau 0,126 %. Di lain pihak frekuensi rekombinasi ganda hasil observasi adalah sebesar 0,005 atau 0,5 %, atau sekitar 4 kali lebih tinggi disbanding frekuensi harapan.
Penjelasan tentang nilai interferensi genetic negative pada fag bersangkutan paut dengan dua keunikan reproduksi kromosom fag (Strikberger, 1985 dalam Corebima, 2000). Salah satu alas an atau penjelasan itu adalah karena lebih dari satu kali putaran “perkawinan”  dapat terjadi antara kromosom-kromosom fag. Dalam hal ini satu kromosom yang sebelumnya telah mengalami satu kejadian rekombinasi dapat “kawin lagi” dan dapat mengalami rekombinasi kembali pada suatu daerah (interfal) kromosom yang berdekatan. Sebagai contoh suatu kromosom a b c atau a + bc sehingga terbentuk rekombinan ganda ab+c.
Namun demikian peningkatan frekuensi rekombinasi ganda pada fag sebagaimana yang telah dikemukakan, tampaknya tidak terjadi karena ada peningkatan penukaran genetic simultan yang riil pada dua interfal kromosom berdekatan (Strikberger, 1985 dalam Corebima, 2000). Fenomena semacam itu pertama kali dicatat oleh Visconti bersama Delbruk dan disebut sebagai interferensi negative rendah atau low negative interference karena mempunyai efek yang relative kecil.
Berkenaan dengan peningkatan frekuensi rekombinasi ganda pada fag, sebenarnya ada fenomena lain yang disebut sebagai interferensi negative tinggi atau high negative interference (Strikberger, 1985 dalam Corebima, 2000). Pada fenomena ini frekuensi rekombinasi ganda dapat meningkatkan mencapai nilai yang 30 kali lebih tinggi daripada frekuensi harapan. Fenomena interferensi negative tinggi tersebut sebenarnya lebih sulit dijelaskan. Salah satu contooh yang berkenaan dengan fenomena ini adalah data yang terungkap pada persilangan tiga gen (titik) atau three-poin crosses yang dilakukan oleh Chase dan Daermann.
30
25
20
15
10
5
0
                        1            2           3          4
Gambar 2.5 Hubungan antara koofisien koinsidensi dan jarak peta pada persilnagan tiga gen (titik) antara mutan-mutan r fag bakteri T4 (Striskberger, 1985 dalam Corebima, 2000)

Rekombinasi Intragenik.
Dewasa ini rekombinasi intragenik sebagaimana yang ditemukan di lingkup mahluk hidup seluler termasuk yang eukariotik, ternyata juga ditemukan pada fag. Rekombinasi intragenik pada fag ini dilaporkan pada fag T4, yang merupakan buah karya kesohor dari Seymour Benzer.
Pada awal decade 1950 Benzer melakuka pengamatan dan pengkajian rinci terhadap lokus rII fag T4 (Klug dan Cummings, 2000 dalam Corebima, 2000). Dalam hal ini Benzer berhasil melaksanakan percobaan yang mengungkap keberadaan rekombinan-rekombinan genetic yang sangat jarang yang terjadi akibat pertukaran yang langsung dalam gen, bukan antar gen sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya. Benzer juga berhasil menunjukan bahwa peristiwa rekombinasi semacam itu terjadi antar DNA fag-fag bateri selama infeksi simultan terhadap E.coli.
Hasil akhir dari kerja Benzer adalah terungkapnya peta rinci dari lokus rII. Oleh karena informasi yang terungkap sangat rinci, kerja Benzer tersebut disebut juga sebagai analisis struktur  halus dari gen. karya inipun tidak ternilai harganya karena terungkap melalui percobaan yang dilaksanakan sebelum teknik DNA sequencing dikembangkan.
Dalam proses kerjanya upaya pertama yang dilaksanakan Benzer adalah melakukan isolasi atas sejumlah besar (sebanyak-banyaknya) muatan di dalam lokus rll fag T4 (Klug dan Cummings; 2000 dalam Corebima, 2000). Dalam hal ini ternyata mutan-mutan dalam lokus rll tersebut menghasilkan plak-plak yang berlainan jika dibiarkan pada cawan yang mengandung E-colt strain B. kenyataan tersebut sangat mempermudah upaya isolasi muatan-muatan itu. Dalam upayanya tersebut sangat mempermudah upaya isolasi muatan-muatan itu. Dalam upayanya itu Benzer berhasil mengisolasikan sekitar 20.000 mutan di dalam lokus rll fag T4.
Kunci analisis Benzer terletak pada kenyataan bahwa mutan-mutan rll tidak dapat melakukan lisis secara berhasil terhadap suatu strain E-coli yang lain, yaitu K12 (l) yang telah mengalami lizogenasi oleh fag l meskipun mutan-mutan itu mampu menginfeksi dan melakukan lisis terhadap E-coli B (Klug dan Cummings, 2000). Di lain pihak, fag strain wild – type mampu melakukan lisis terhadap kedua strain E-coli tersebut, yaitu strain B dan K12 (l). Berkenaan dengan kenyataan itu, dibayangkan bahwa jika terjadi rekombinasi di dalam lokus rll yang menghasilkan rekombinasi wild type (betapapun jarangnya) maka rekombinasi wuld type itu dapat hidup di dalam sel E-coli K12 (l) dan mampu mengadakan lisis terhadapnya; sedangkan mutan rekombinasi tidak mampu melakukannya. Perhatikan Gambar 2.6. Dalam hubungan ini dibayangkan, bahwa jika populasi fag yang terdiri atas lebih dari 99,9 persen mutan rll serta kurang dari 0,1% strain wild type dibiarkan menginfeksi stain K12, maka strain rekombian wild type berhasil bereproduksi serta menghasilkan plak-plak wild – type; dan inilah kritis dalam upaya menemukan dan menghitung rekombinn-rekombinan yang sangat jarang.
 










Gambar 2.6 Bagan rekombinasi intragenik antara dua mutan dalam lokus rll fag T4. Rekombinan-rekombinan diuji melalui pembiakan dalam cawan yang mengandung E.coli strain B dan K12 (l) (Klug dan Cummings, 2000 dalam Corebima, 2000)

Upaya lain perlu dilakukan Banzer agar dapat mengitung jumlah total turunan mutan maupun jumlah total rekombinan wild type, dalam rangka mengungkap  frekuensi rekombinan. Dalam hubungan ini Benzer memanfaatkan teknik pengenceran serial (Klug dan Cummings, 2000 dalam Corebima, 2000); dan dengan teknik ini Benzer mampu menentukan mutan rll yang dihasilkan oada E-coli K12 (l). Hingga tahap ini terlihat bahwa rancangan percobaan Benzer memang sangat peka. Demikian pekanya rancangan percobaan tersebut terbukti dari kenyataan bahwa Benzer mampu menemukan satu fag rekombinan wild-type yang tercampur diantara sekitar 100 juta fag turunan mutan.
Selain cara-cara yang telah dilakukan itu, Benzer juga melakukan suatu upaya lagi dalam rangka lebih mengamankan pelaksanaan percobaan sekaligus menjaga ketelitian data/hasil percobaan. Satu upaya yang juga dilakukan itu adalah uji komplementasi.
Uji komplementasi itu dilakukan karena selama melakukan kontrol terhadap percobaannya terutama di saat E-coli strain K12 (l) secara simultan diinfeksi oleh pasangan strain mutan yang berbeda, Benzer kadang-kadang menemukan bahwa E-coli K12 (l) ternyata juga mengalami lisis (Klug dan Cummings, 2000). Pada mulanya kenyataan itu sangat membingungkan, karena seharusnya hanya strain rll wild-type yang dapat menyebabkan E-coli K12 (l) mengalami lisis. Bagaimana penjelasannya, sehingga strain-strain mutan rll justru dapat menyebabkan E-coli K12 (l) mengalami lisis? Penjelasan fenomena yang sangat membingngkan itu diperoleh melalui uji komplementasi, karena Benzer berpendapat bahwa selama melakukan infeksi secara bersamaan, tiap strain mutan itu memberikan sesuatu yang tidak dimiliki oleh strain lainnya. Dan jika hal itu terjadi maka fungsi atau kemampuan strain wild-type akan pulih. Bagan uji komplementasi itu ditunjukkan pada Gambar 2.7.










Gambar 2.7 Bagan uji komplementasi dua mutan dalam dua alternative hasil, yaitu a) ada komplementasi atau b) tidak ada komplementasi (Klug dan Cummings, 2000 dalam Corebima, 2000)

Bilamana banyak pasangan mutan diperlakukan pada uji komplementasi, maka tiap mutan pasti terkelompok ke dalam salah satu dari dua kelompok komplementasi, yang disebut saja sebagai A dan B. Pasangan-pasangan mutan uji yang melakukan komplementasi satu sama lain dikelompokkan ke dalam kelompok komplementasi yang lain (Gambar 2.7a). di lain pihak pasangan-pasangan mutan uji yang tidak melakukan komplementasi satu sama lain, dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok komplementasi yang sama (Gambar 2.7b). Tiap kelompok komplementasi ini disebut sebagai cistron oleh Benzer. Cistron A dan B (Gambar 2.7) pada lokus rII fag T4, dewasa ini sudah diketahui sebagai dua buah gen yang berlainan. Melalui uji komplementasi akhirnya seluruh mutan pada lokus rII dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu yang merupakan bagian dari cistron A dan yang merupakan bagian dari cistron B. Dari sekitar 20.000 mutan rII, secara garis besar separuh merupakan bagian cistron A, separuhnya lagi adalah bagian cistron B, dan pada tahap inilah percobaan tentang rekombinasi intragenik siap dilaksanakan, dalam arti mengungkap rekombinasi-rekombinasi intragenik dalam cistron A serta mengungkap rekombinasi –rekombinasi intragenik dalam cistron B, memanfaatkan mutan-mutan yang berada dalam masing-masing cistron.
            Sebagaimana yang telah dikemukakan, percobaan untuk mengungkap rekombinan intragenik dilakukan sendiri-sendiri pada cistron A maupun B. Dalam hubungan ini silih berganti digunakan dua mutan setiap kali. Dua mutan itu diupayakan melakukan infeksi simultan terhadap E. coli B dalam kultur cair. Melalui prosedur yang telah dikemukakan sebelumnya, setiap kali dapat dihitung jumlah plak rekombinan wild-type dalam rangka menentukan jumlah fag rekombinan yang tergolong wild-type, total jumlah turunan fag juga dapat ditentukan berdasarkan jumlah plak. Agar lebih jelas mari kita perhatikan protokal percobaan pada gambar 2.8.






 




Gambar 2.8 protokol percobaan rekombinasi intragenik yang memanfaatkan mutan-mutan rIIA maupun rIIB fag T4 (Klug dan Cummings, 2000 dalam Corebima, 2000)

            Atas dasar contoh protokol percobaan yang diperlihatkan pada gambar 2.8 itu, secara operasional persentase rekombinan dapat ditentukan pertama kali dengan menghitung jumlah plak pada pengenceran yang tepat di tiap kasus. Lebih lanjut jika misalnya atas dasar jumlah plak, jumlah rekombinan adalah sebanyak 4 x /ml sedangkan total jumlah turunan adalah 8 x /ml, maka frekuensi rekombinan antara dua mutan adalah
2  = 2 (0,5 x ) = = 0,000001 = 0,0001%
Seperti halnya pada makhluk hidup eukariotik, nilai frekuensi rekombinan (dalam persen) itu dipandang setara dengan jarak antara dua mutan (pada saat ini keduanya sama-sama merupakan bagian dari cistron yang sama). Bahwa perhitungan itu perlu dikali dua, hal itu disebabkan karena tiap peristiwa rekombinan menghasilkan dua produk yang resiprok; hanya satu di antaranya wild-type yang dideteksi.
            Sebenarnya ada permasalahan lain yang muncul di saat pelaksanaan percobaan rekombinasi intragenik pada cistron A maupun B lokus rII fag T4. Sangat banyak percobaan rekombinasi intragenik yang sama sekali tidak memunculkan rekombinan wild-type, ternyata hal itu bersangkut paut dengan mutan dalam daerah cistron A atau B yang disebabkan oleh delesi. Rekombinasi intragenik yang memunculkan rekombinan wild-type hanya terjadi antara mutan-mutan yang mempunyai latar belakang mutasi titik. Dalam hubungan ini sangat penting

diperhatikan bahwa jika suatu mutan berlatar mutasi titik yang justru terletak dalam daerah cistron itu yang mengalami delesi, maka rekombinan wild-type tidak akan pernah muncul (Gambar 2.9). Fenomena semacam ini juga perlu dijernihkan terlebih dahulu untuk mengamankan percobaan rekombinasi intragenik dalam cistron A maupun B tersebut. Dalam hal ini dilakukan uji delesi untuk memastikan sesuatu mutan itu  berlatar mutasi titik atau delesi.






Gambar 2.9  Bagan yang memperlihatkan bahw rekombinasi intragenik yang melibatkan sesuatu mutan berlatar mutasi titik dengan suatu mutan berlatar delesi dalam sebuah cistron (misalnya A) tidak akan memunculkan rekombinan wild-type. Mutan berlatar mutasi titik terletak dalam daerah yang mengalami delesi dalam cistron itu (Klug dan Cummings, 2000 dalam Corebima, 2000)

Setelah beberapa tahun melakukan percobaan rekombinasi genetik dalam daerah cistron  A maupun B  lokus rII fag T4, Benzer berhasil mengungkap gambaran peta genetik kedua cistron itu. Peta genetik cistron A   dan B itu ditunjukan pada gambar 14.10. secara operasional Benzer telah menganalisis sekitar 20000 mutan yang terletak dalam daerah  cistron  A dan B; dan 307 di antaranya berhasil dipetakan. Pada gambar 14.10 itu terlihat bahwa ada tapak-tapak yang mengalami banyak mutasi (sehingga mempunyai banyak mutan). Tapak-tapak semacam itu disebut sebagai titik panas atau hots spots (Klug dan Cummings,2000 dalam Corebima, 2000). Di lain pihak ada pula tapak-tapak yang tidak pernah mengalami mutasi (sehingga tidak mempunyai mutan).
            Hasil karya Benzer ini amat spektakuler karena berhasil diungkap mendahului kajian molekuler gen rinci yang baru mampu dilaksanakan pada decade 1960. Pada masanya Benzer memang berhasil membuktikan (1955)bahwa suatu gen  bukanlah suatu partikel yang tidak dibagi; dibuktikan bahwa gen adalah unit-unit mutasi dan rekombinasi yang tersusun dalam suatu susunan spesifik, betapapun saat ini kita memandang bahwa hal itu memang yang demikian adanya, karena sudah jelas diketahui  bahwa gen atau per unit-unit itu adalah bagian dari molekul DNA yang tersusun dari nukleotida-nukleotida.
 







Gambar 14.10 Suatu peta parsial mutan-mutan dalam daerah  cistron A dan B lokus rII fag T4 yang berhasil diungkap Benzer. Setiap kotak kecil menunjuk/mewakili satu mutan (Klug dan Cummings,2000 dalam Corebima, 2000).
                                                          

PERTANYAAN DAN JAWABAN

1.        Bagaimanakah proses pindah silang pada tahap meiosis pada makhluk hidup eukariot?
Jawab :  Peristiwa pindah silang sudah jelas diketahui terjadi selama sinapsis dari kromosom-kromosom homolog pada zygoten dan pachiten dari profane I meiosis (Gardner, dkk., 1984). Dalam ini tentu saja yang dimaksud adalah pindah silang pada makhluk hidup yang pembelahan reduksinya berlangsung selama meiosis I. Gardner dkk. (1984) menyatakan pula bahwa karena replikasi kromosom berlangsung selama interfase,maka peristiwa pindah silang itu terjadi pada tahap tetrad pasca replikasi pada saat tiap kromosom telah mengganda, sehingga telah terbentuk empat kromatid untuk tiap pasang kromosom homolog.
Peristiwa pindah silang terjadi antara keempat kromatid itu, tetapi yang terjadi antara dua kromosom sesaudara (dari satu kromosom) jarang dapat dideteksi. Bcrkenaan dengan hal ini, Gardner dkk. (1984) menyatakan "Pindah silang juga mencakup kromati-kromatid sesaudara (dua kromatid dari satu kromosom), tetapi pindah silang tersebut secara genetik jarang dapat dideteksi karena kromatid-kromatid sesaudara biasanya identik". Jelaslah peristiwa pindah silang yang secara genetik mudah dideteksi adalah yang berlangsung antara dua kromatid bukan sesaudara (non-sister chromatids).
2.        Apa fungsi dari enzim integrase pada peristiwa rekombinasi yang terjadi pada mkahluk hidup?
Jawab: Enzim integrase pada kenyataannya dapat berperan sebagai suatu enzim topoisomerase. Dalam hal ini enzim integrase membuat suatu pemutusan dalam posisi menyamping (tidak berhadap-hadapan), jarak antara kedua tempat yang terpotong adalah sejauh 7 nukleotida. Pemutusan unting DNA itu terjadi pada tapak attP maupun tapak attB.












REKOMBINASI




RESUME

Disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Genetika Lanjut
yang dibimbing oleh Prof. Dr. A. Duran Corebima, M. Pd
dan Prof. Dr. Siti Zubaidah, M. Pd







Oleh:
Kelas B

Zainul Usman  (120341521830)















UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
APRIL 2013