LAJU MUTASI DAN DETEKSI
MUTASI
A. LAJU
MUTASI
Ada dua parameter yang
digunakan untuk mengukur kejadian mutasi yaitu laju mutasi (mutation rate)
dan frekuensi mutasi (mutation frequency). Laju mutasi menggambarkan
peluang sesuatu macam mutasi tertentu sebagai suatu fungsi dari waktu;
sedangkan frekuensi mutasi adalah jumlah kejadian sesuatu macam mutasi tertentu pada suatu macam
populasi sel atau populasi individu (Russel, 1992 dalam Corebima, 2011).
Pada umumnya laju
mutasi yang teramati rendah, tetapi beberapa gen jelas terlihat sering
bermutasi daripada yang lainnya (Ayala, dkk., 1984). Yang dimaksud di sini
tentu saja yang berhubungan dengan mutasi spontan, sebagaimana yang juga
dikemukakan oleh Gardner, dkk., (1991). Dikatakan bahwa mutasi spontan jarang
terjadi, sekalipun frekuensi yang teramati berbeda dari gen ke gen maupun dari
makhluk hidup ke makhluk hidup. Laju mutasi gen-gen tertentu pada berbagai
makhluk hidup ditujukkan pada Tabel 3.1; sedangkan frekuensi mutasi spontan di
lokus-lokus tertentu pada berbagai makhluk hidup ditunjukkan pada Tabel 3.2.( Corebima, 2011)
Sudah disebutkan sebelum ini bahwa pada umumnya laju mutasi
yang teramati rendah (Ayala, dkk., 1984); demikian pula mutasi spontan jarang
terjadi sekalipun frekuensi yang teramati berbeda dari gen ke gen maupun dari
makhluk hidup ke makhluk hidup (Gardner, dkk., 1991). Dalam hal ini tersirat
bahwa kesimpulan tentang laju mutasi yang teramati rendah serta mutasi spontan
yang jarang terjadi itu didasarkan pada mutasi yang dampaknya teramati (terdeteksi);
dan sama sekali tidak termasuk mutasi yang dampaknya tidak teramati (tidak
terdeteksi), apalagi mutasi yang sudah sempat diperbaiki (Corebima, 2011).
Tabel 3.1
Laju mutasi gen-gen tertentu pada berbagai makhluk
hidup (Ayala, dkk., 1984 dalam Corebima, 2011)
Tabel 3.2
Frekuensi mutasi di lokus-lokus tertentu pada
berbagai makhluk hidup (Russel, 1992 dalam
Corebima, 2011)
Oleh karena itu laju
mutasi pada Tabel 3.1 ataupun frekuensi mutasi spontan pada tabel 3.2 tentu saja
hanya didasarkan pada mutasi yang dampaknya teramati (terdeteksi). Hal tersebut
sejalan dengan informasi dari Gardner, dkk., (1991). Dalam hal ini dikatakan
bahwa pengukuran frekuensi mutasi ke depan (forward mutation) berkisar
sekitar 10-8 hingga 10-10 mutasi yang dapat terdeteksi
per pasangan nukleotida per generasi (periksa juga Tabel 3.1 dan 3.2); demikian
pula untuk makhluk hidup eukariotik, perkiraan mutasi ke depan (forward mutation)
berkisar sekitar 10-7 hingga 10-9 mutasi yang dapat
terdeteksi per pasangan nukleotida per generesi (hanya didasarkan pada gen-gen
yang dutanya cukup tersedia; periksa juga Tabel 3.1 dan 3.2) (Cerebima, 2011).
Mari kita perhatikan
laju mutasi dan frekuensi mutasi yang tidak hanya didasarkan pada mutasi yang
dampaknya teramati (terdeteksi); tetapi juga berdasarkan pada mutasi yang
dampaknya tidak teramati
(terdeteksi); maupun pada mutasi yang sudah sempat diperbaiki. Dalam hubungan
ini mudah dipahami bahwa laju mutasi dan frekuensi yang mutasi tidak hanya
didasarkan pada mutasi yang dampaknya teramati (terdeteksi) semacam itu,
sebenarnya tidak rendah (bahkan mungkin sangat tinggi). Berkenaan dengan hal
ini, dalam batas mutasi yang terjadi karena perubahan tautomerik, dikatakan
bahwa lebih banyak mutasi yang terjadi daripada yang benar-benar terdeteksi,
jika sebagian besamya tidak diperbaiki (Russel, 1992 dalam Corebima, 2011).
Sebagaimana yang telah
dikemukakan laju mutasi (yang terdeteksi) secara individual memang rendah. Akan
tetapi jika diperhatikan kenyataan bahwa tiap individu makhluk hidup mempunyai
banyak gen, dan tiap spesies tersusun dari banyak individu, maka (dalam batas
mutasi yang terdeteksi sekalipun) sebenarnya mutasi merupakan peristiwa yang
biasa, tidak jarang (Ayala, dkk. 1984dalam Corebima, 2011)
Pengukuran laju mutasi
spontan pada bakteri dan fag relatif mudah dibandiing pengukuran pada
kelompok-kelompok makhluk hidup yang lebih tinggi (Ayala, dkk., 1984).
Pengukuran laju mutasi
yang lebih mudah pada bakteri dan fag tersebut disebabkan karena
kromosom kelompok-kelompok makhluk hidup itu tergolong monoploid; demikian pula
pengukuran atau pemeriksaan laboratorium
dapat dilakukan atas sejumlah besar populasi. Pada kelompok-kelornpok makhluk
hidup yang lebih tinggi, pengukuran laju mutasi memang menjadi lebih sulit
karena beberapa sebab. Kromosom kelompok-kelompok makhluk hidup yang lebih
tinggi bukan monoploid, tetapi (terutama) diploid; keadaan kromosom yang bukan
monoploid, (misalnya diploid) memang menyebabkan mutan resesif tidak terdeteksi
jika berada dalam kondisi heterozigot. Disamping itu pengukuran atau
pemeriksaan laboratorium tidak dapat dilakukan atas sejumlah besar populasi (Corebima, 2011).
Kebanyakan penelitian
tentang mutasi
pada kelompok-kelompok
makhluk hidup yang lebih
tinggi sudah tidak lagi berhubungan dengan mutasi gen tunggal karena sangat jarang (Ayala, dkk., 1984); dan
yang dilakukan adalah pengkajian mutasi seluruh kromosom. Terkait dengan hal
tersebut, misalnya pada 1927 H. J. Muller merancang suatu cara cepat dan mudah
untuk mempelajari mutasi. Cara kajian mutasi itu sudah diterapkan untuk
memeriksa mutasi letal yang terpaut kromosom kelamin pada sperma Drosophila. Untuk
keperluan kajian itu dirakit kromosom kelamin X yang disebut kromosom X
Muller-5 atau Muller-5 X chromosome. Dalam hal ini kromosom X diberi
penanda mutan Bar (B) yang semidominan dan mutan apricot (wa)
yang
resesif. Kromosom tersebut juga sudah diupayakan sehingga mengalami inversi
untuk menekan (menghalangi) peristiwa pindah silang. Contoh pengkajian mutasi
letal resesif terpaut kromosom kelamin X pada Drosophila ditunjukkan
pada Gambar 3.1. (Corebima,
2011)
Pada Gambar 3.1 itu
terlihat bahwa individu betina yang merniliki kromosom Muller-5 homozigot
disilangkan dengan individu jantan wild-type. lndividu jantan wild-type
inilah yang akan dideteksi mutan letalnya yang resesif dan yang terpaut
kromoson kelamin
X. Turunan I yang dihasilkan adalah individu betina heterozigot (satu kromosom
kelamin
X berupa kromosom Muller-5, kromosom yang lainnya adaiah yang hendak dideteksi
mutan letalnya yang resesif), sedang individu jantan pada turunan I ini merupakan pejantan
Muller-5. Turunan I selanjutnya disilangkan sesamanya untuk memunculkan turunan
II.
Gambar 3.1
Teknik Muller-5 untuk mendeteksi mutasi letal yang
terpaut krornosom kelamin X pada
Drosophila (Ayala, dkk., 1984 dalam Corebima,
2011)
Dalam hal ini jika pada
turunan II muncul juga individu jantan wild-type, maka kenyataan
tersebut membuktikan bahwa kromosom X yang dideteksi tidak mengandung sesuatu
mutan resesif letal. Sebaliknya jika pada turunan II tidak ditemukan individu jantan wild-type,
maka hal ini membuktikan bahwa kromosom X yang terdeteksi memang mengandung
sekurang-kurangnya satu mutan resesif letal. Berkenaan dengan teknik deteksi
mutan letal resesif semacam itu, pernah terungkap bahwa dari 6346 individu
turunan I yang disilangkan dengan pejantan Muller-5, diantaranya diketahui
mengandung mutan letal resesif terpaut kromosom kelamin X yang baru terbentuk.
Atas dasar data itu dinyatakan bahwa
laju suatu mutasi spontan per kromosom adalah sebesar 0,13%. Kajian
lebih lanjut selanjutnya menunjukkan bahwa laju mutasi spontan letal yang
terpaut kromosom kelamin X antar strain berkisar antara 0,008% hingga lebih
dari 1% (Corebima,
2011).
Persilangan pada Gambar
3.1 juga memungkinkan pengkajian lebih lanjut terhadap pemulihan kromosom X
yang mengandung (membawahi) mutan letal yang baru terbentuk (Ayala, dkk.,
1984), karena kromosom-kromosom terebut dimiliki oleh individu betina dalam kondisi heterozigot
berpasangan kromosom Muller-5, serta pindah silang pada kromosom X memang telah
dihalangi. Tipe persilangan tersebut juga bermanfaat untuk pemulihan mutan
resesif yang baru terbentuk dan yang efeknya dapat terlihat; demikian pula
bermanfaat untuk pemulihan mutan betina mandul maupun jantan mandul yang
resesif (Corebima,
2011).
Teknik Muller-5 untuk
pengukuran laju mutasi juga bermanfaat untuk mendeteksi agen-agen penyebab
mutasi (Ayala, dkk., 1984). Dalam hubungan ini H.J. Muller memang telah
membuktikannya. Melalui teknik ini sudah dibuktikan bahwa radiasi sinar X
sangat meningkatkan laju mutasi. Yang dilakukan adalah mengamati mutan-mutan
pada turunan dari individu jantan Drosophila yang sebelumnya telah
diradiasi dengan sinar X. Dalam hal ini setelah diradiasi individu jantan itu
disilangkan dengan individu betina Muller-5 yang homozigot. Hasil deteksi
dengan teknik Muller-5 ini memperlihatkan bahwa pada umumnya frekuensi mutasi
berbanding langsung dengan dosis sinar X yang dinyatakan dalam unit rontgen. Perhatikan
Gambar 3.2.
Gambar 3.2
Radiasi sinar X meningkatkan frekucnsi mutasi letal
yang terpaut kromosom kelanmin X pada Drosophila yang berbanding
langsung terhadap dosis radiasi (Ayala, dkk., 1984 dalam Corebima, 2011)
Pembuktian senyawa
kimia pertama sebagai mutagen juga dilakukan dengan teknik Muller-5 (Ayala,
dkk., 1984), Dalam hal ini selama perang dunia II sudah dibuktikan perlakuan gas
mustard terhadap Drosophila jantan dalam dosis subletal
mengakibatkan terjadinya mutasi letal pada kromosom X dalam frekuensi tinggi,
yaitu sebesar 7,3%. Dewasa ini uji Muller-5 merupakan komponen penting dalam
proses pemeriksaan untuk mendeteksi polutan lingkungan yang mungkin bersifat
mutagenik.
B.
DETEKSI
MUTASI
Sebelum para ahli
genetika. mempelajari secara langsung proses mutasi atau rnendapatkan makhluk
hidup mutan untuk keperluan penelitian genetik, mereka harus dapat mendeteksi
rnutasi (Klug dan Cummings, 1994). Pada bagian ini akan dibahas deteksi mutasi
pada bakteri, jamur, Drosophila, tumbuhan tinggi, dan manusia (Corebima, 2011).
1.
Deteksi
Mutasi pada Bakteri dan Jamur
Deteksi mutasi pada
mahluk hidup monoploid semacam bakteri dan jamur sangat efisien. Dalam hal ini
deteksi mutasi tergantung kepada suatu sistem seleksi yang mudah memisahkan
sel-sel mutan dari yang bukan mutan. Prinsip-prinsip umum deteksi mutasi pada
bakteri dan jamur tidak berbeda (Klug dan Cummings, 1994). Sebagai gambaran,
penjelasan lebih lanjut didasarkan atas deteksi mutasi nutrisional pada jamur Neurospora
crassa (Corebima, 2011).
Neurospora crassa
adalah jamur yang bersifat monoploid (haploid) pada fase vegetatif. Oleh karena
itu deteksi mutasi pada fase itu dapat mudah dilakukan dibanding pada makhluk
hidup lain. Rincian prosedur deteksi mutan nutrisional pada N. Crassa
ditunjukkkan pada Gambar 3.3.
Pada gambar 3.3 (a) itu
terlihat bahwa konidia monoploid yang mengandung sesuatu mutan dapat dideteksi
dan diisolasi atas dasar kegagalannya tumbuh pada suatu medium lengkap. Pada
gambar 3.3 (b) dan 3.3 (c) segera sesuatu mutan sudah dideteksi dan diisolasi,
senyawa yang hilang (tidak ada) dapat ditetapkan melalui upuya menumbuhkan
strain mutan pada sederet tabung yang masing-masingnya mengandung medium
minimum yang diberi suplemen sesuatu senyawa. Pada contoh penjelasan ini
(misalnya) mutan yang sudah dideteksi dan diisolasi tadi terbukti dapat tumbuh
pada medium minimum yang diberi suplemen tirosin. Oleh karena itu.dapat
dipastikan bahwa mutasi yang dideteksi adalah suatu mutasi auksotrof tirosin
atau tyr-, atau mutasi tersebut adalah suatu mutan auksotrof tirosin (mutan
auksotrof adalah baru dapat hidup atau tumbuh jika pada medium minimal diberi
sesuatu suplemen tertentu)
Gambar 3.3
Induksi, isolasi, dan karakterisasi mutan auksorofik
pada N. Crassa.
Pada (a) konidia 1 terkena mutasi tetapi konidia 2
terkena mutasi.
Pada (b) mutasi yang sudah terjadi dikaji
(diperiksa) dan diketahui bahwa mutasi tcrsebut mempengaruhi biosintesis tirosin
(Klug dan Cummings, 1994 dalam Corebima,
2011).
2. Deteksi
Mutasi pada Drosophila
Sebagaimana yang telah
dikemukakan pada pengukuran laju mutasi letal resesif yang terpaut kromosom
kelamin X digunakan teknik Muller-5. Teknik ini seperti diketahui, dikembangkan
oleh H. J. Muller. Sebenarnya teknik Muller-5 juga merupkan suatu teknik
deteksi mutasi pada Drosophila; dan disebut juga sebagai teknik CIB;
C adalah suatu inversi yang menekan (mengalangi) peristiwa pindah
silang, I adalah suatu alela letal resesif, sedangkan B .adalah
suatu duplikasi gen dominan yang memunculkan mata Bar (Klug dan
Cummings, 1994 dalam Corebima,
2011).
Selain teknik Muller-5
atau teknik CIB, H.J.Muller juga mengembangkan teknik deteksi mutasi pada Drosophila
yang lain yaitu teknik atau prosedur kromosom X berlekatan atau attached-X
procedure (Klug dan Cummings, 1994). Pada teknik kromosorn X berlekatan,
digunakan individu betina yang memiliki kromosom X berlekatan (tempat
perlekatan kedua kromosom X tersebut adalah pada sentromer). Teknik ini
dimanfaatkan untuk mendeteksi mutasi morfologi yang resesif bahkan lebih
sederhana, karena hanya satu generasi yang dibutuhkan. Secara operasional
susunan kromosom kelamin individu betina adalah dua kromosom X yang berlekatan
pada sentromer, dan sebuah kromosom Y; susunan tiap pasang otosom normal. Jika
individu betina semacam itu disilangkan dengan individu jantan yang berkromosom
kelamin normal (XY), maka akan dihasilkan 4 tipe turunan. Keempat tipe turunan
itu adalah individu betina yang memiliki 3 kromosom X (mati), individu betina
berkromosom kelamin XXY (kromosom X berlekatan; hidup), individu jantan
berkromosom kelamin YY (mati), serta individu jantan berkromosom kelamin XY
(yang mewarisi kromosom X dari induk jantan, sedangkan kromosom Y diwarisi dari
induk betina; hidup).
Bagan deteksi mutasi
yang menggunakan teknik kromosom X berlekatan ditunjukkan pada Gambar 3.4. Pada
gambar itu terlihat bahwa induk jantan, yang sudah mendapat perlakuan dengan
sesuatu agen mutasi, akan menghasilkan turunan jantan (turunan 1) yang mengekspresikan sesuatu gen
mutan resesif terpaut kromosorn kelamin X hasil perlakuan mutasi sebelumnya (Corebima, 2011).
Gambar 3.4
Teknik kromosom X berlekatan untuk deteksi mutasi
morfologi yang diinduksi pada Drosophila (Klug dan Cummings, 1994 dalam Corebima, 2011)
Dewasa ini teknik
Muller-5 (CIB) maupun teknik kromosom X berlekatan juga sudah dirancang
untuk mendeteksi mutasi letal resesif pada otosom Drosophila (Klug dan
Cummings, 1994). Walaupun penerapannya pada otosom lebih sulit, teknik-teknik
tersebut terbukti cukup efisien
(Corebima, 2011).
3.
Deteksi
Mutasi pada Tumbuhan Tinggi
Banyak variasi
morfologi tumbuhan tinggi dapat dideteksi secara sederhana melalui pengamatan
visual. Di samping itu ada juga teknik yang digunakan untuk mendeteksi
mutasi-mutasi biokimiawi (Klug dan cummings, 1994).Teknik pertama adalah
melalui analisis komposisi bikimia. Contoh teknik pertarna adalah misalnya
isolasi protein dari endosperm jagung, hidrolisis protein-protein itu, serta
penetapan komposisi asam amino sudah menunjukkan bahwa dibanding galur-galur
bukan mutan, mutan opaque 2 mengandung lebih banyak lisin. Pada saat ini
memang para ahli genetika secara rutin rnenganalisis komposisi asam amino yang
terkandung pada strain-strain baru tanaman biji-bijian, seperti jagung, padi,
gandum, jewawut dan sebagainya. Seperti diketahui, hasil analisis-analisis itu
bermanfaat untuk melawan sakit kurang gizi (malnutrisi), yang diakibatkan oleh
ketidakcukupan protein atau bahkan ketiadaan asam amino esensial tertentu dalam
makanan (Corebima,
2011).
Teknik deteksi mutasi
kedua pada tumbuhan melibatkan kultur jaringan galur-galur sel tumbuhan pada
medium yang sudah tertentu. Dalam hal ini sel-sel tumbuhan diperlukan sebagai
mikroorganisme; kebutuhan biokimiawi dapat ditetapkan dengan cara menambah dan mengurangi
nutrien-nutrien dalam medium kultur. Teknik kedua ini memiliki keuntungan lain,
karena teknik yang berhubungan dengan mutan letal kondosional dapat digunakan
terhadap sel-sel turnbuhan pada kultur jaringan, dan selanjutnya diterapkan
untuk genetika tumbuhan tinggi, demikian pula teknik ini merupakan suatu sistem
deteksi yang umumnya tidak bermanfaat dalam hubungan dengan tumbuhan utuh (Corebima, 2011).
Berkenaan dengan teknik
kedua tersebut mutasi-mutasi yang peka suhu pada tumbuhan sedang mulai dikaji,
terutama pada tembakau; hasil kajian ini dapat menambah pemahaman kita terhadap
pertumbuhan, metabolisme serta genetika tumbuhan.
4. Deteksi
Mutasi pada Manusia
Deteksi rnutasi pada
manusia, misalnya yang berkaitan dengan sifat ataupun kelainan tertentu
dilakukan dengan bantuan analisis silsilah (Klug dan Cummings, 1994). Upaya
pelacakan melalui analisis silsilah itu dilakukan sejauh mungkin. Segera
seteleh sesuatu sifat dipastikan menurun, selanjutnya diramalkan apakah alela
mutan itu terpaut kromosom kelamin atau terpaut autosom (Corebima, 2011).
Mutasi dominan paling
mudah dideteksi. Jika gen mutan dominan itu terdapat pada kromosom kelamin X
maka seorang ayah yang tergolong penderita akan mewariskan ciri fenotip terkait
kepada semua anak perempuannya. Sebaliknya jika gen mutan dominan itu terpaut
otosom, maka hampir 50% anak (yang berasal dari seorang tua heterozigot)
diharapkan mewarisi ciri mutan itu. Perhatikan Gambar 3.5 yang memperlihatkan
silsilah hipotetik tentang suatu kelainan yang mempunyai latar belakang mutan
dominan terpaut otosom
(Corebima, 2011).
Pada Gambar 3.5 itu
terlihat bahwa orang tua pada generasi I tidak menderita katarak, tetapi satu
(perempuan) dari tiga anak mereka (generasi ll) menderita katarak. Dapat diduga
bahwa mutasi awal terjadi pada sebuah gamet dari salah seorang tua mereka
(generasi I). Anak perempuan penderita katarak itu mempunyai dua anak satu
laki-laki dan satu perempuan (generasi III); anak laki-laki tersebut menderita
katarak. Anak laki-laki penderita katarak (generasi III); mempunyai 6 turunan
(generasi lV), dan 4 diantaranya menderita katarak.
Gambar 3.5
Satu silsilah hipotetik katarak mata yang mempunyai
latar belakang gen mutan dominan terpaut otosom (Klug dan Cumrnings, 1994 dalam Corebima, 2011)
Gambaran silsilah
katarak itu memperlihatkan pola pewarisan dominan yang terpaut otosom sekalipun
belum terbukti. Sekalipun demikian frekuensi penderita katarak yang tinggi di
generasi IV seperti tersebut memperkuat kesimpulan tadi. Dalam hubungan ini
adanva turunan perempuan (generasi IV) yang tidak menderita katarak juga
semakin mernperkuat kesimpulan termaksud karena sudah pasti gen mutan dominan
itu tidak terpaut kromosom kelamin X (jika gen rnutan dominan tersebut terpaut
kromosom kelamin X, maka semua turunan perempuan di generasi IV itu pasti
merupakan penderita katarak).
Mutasi resesif yang
terpaut kromosom kelamin dapat juga dideteksi dengan bantuan anaiisis silsilah.
Satu contoh mutan resesif terpaut kromosom kelamin pada manusia adalah yang
mengekspresi kelamin hemofili. Salah satu contoh analisis silsilah mutan
resesif terpaut kromosom kelamin yang menjadi latar belakang hemofili adalah
analisis silsilah hemofili pada turunan Ratu Victoria dari Inggris (Klug dan
Cummings, 1994). Perhatikan Gambar 3.6.
Gambar 3.6
Hasil analisis silsilah yang terkait kelainan
hemofili pada keluarga dan turunan Ratu Victoria (Russel,
1992 dalam Corebima, 2011)
Dengan
memperhatikan.bagan di atas bahwa Ratu Victoria diduga kuat memiliki alela
heterozigot untuk kelainan hemofili, sedangkan tidak ada alasan untuk menduga
bahwa ibunya seorang carrier sebagaimana sang Ratu (Corebima, 2011).
Alela-alela mutan
resesif yang terpaut otosom dapat juga dideteksi melalui analisis silsilah.
Sifat fenotif yang berlatar belakang genetik semacam ini biasanya muncul
sebentar-sebentar sepanjang sejumlah generasi (Klug dan Cummings, 1994),
Seperti diketahui ekspresi fenotif bila yang terpaut otosom "tidak
terpaut" pada kondisi heterozigot. Seorang individu pengidap kelainan
terkait yang kawin dengan seorang yang norrnal homozigot hanya menghasilkan
turunan carrier (bukan pengidap); sedang perkawinan antara dua orang
yang sama-sama carrier akan menghasilkan (rata-rata) 25% turunan yang
tergolong pengidap (Corebima,
2011).
Selain melalui analisis
silsilah dewasa ini deteksi mutasi pada manusia luga dilakukan melalui analisis
in vitro. Seperti diketahui sel-sel manusia secara rasio sudah dapat
dikultur. Deteksi mutasi melalu analisis in vitro yang memanfaatkan
kultur sel, dapat didasarkan pada analisis aktivitas enzim, migrasi protein
pada medan elektroforetik, serta pengurutan langsung protein maupun DNA (Klug
dan Cummings, 1994). Melalui kajian-kajian itu diketahui pula bahwa antara
individu-individu dalam populasi manusia terdapat keanekaragaman genetik yang
besar (Corebima,
2011).
5.
Uji
Ames
Dewasa ini terdapat
perhatian khusus tertenlu terhadap peluang senyawa-senyawa kimia yang masuk ke
dalam tubuh menjadi agen mutasi. Seperti diketahui senyawa-senyawa kimia itu
masuk ke dalam tubuh melalui kulit, saluran pencernaan, atau saluran
pernapasan. Berkenaan denga hal ini banyak perhatian antara lain diberikan
kepada materi residu polusi udara maupun polusi air, pengawet makanan maupun
bahan-bahan aditif, pemanis buatan, herbisida, serta produk-produk farmasi
(Russel, 1992; Klug dan Cummings, 1994 dalam Corebima, 2011)).
Pengujian peluang
sesuatu senyawa kimia yang masuk ke dalam tubuh seperti termaksud menjadi agen
mutasi, dilakukan antara lain dengan bantuan teknik Muller-5 maupun uji Ames
(Ayala, dkk., 1984). Teknik Muller-5 sudah dikemukakan, sedangkan uji Ames akan
dikemukakan lebih lanjut
(Corebima, 20011).
Uji Ames dikembangkan
oleh Bruce Ames pada awal 1970-an. Uji Ames menggunakan bakteri Salmonella
typhimurium sebagai organisme uji (Russel, 1992). Yang digunakan adalah dua
strain S. typhimurium kedua strain itu sama-sama tergolong auksotrofik
untuk histidin. Sepcrti diketahui strain yang bersifat auksotrofik untuk
histidin adalah yang membutuhkan tambahan histidin dalam medium pertumbuhan
agar dapat hidup (tumbuh). Dari kedua strain itu, pada salah satu strain mutan his
dapat dikembalikan menjadi his+ oleh suatu mutasi pergantian
basa; sedang pada strain lain mutasi his dapat dikembalikan mejadi his+
oleh sualu mutasi pengubah rangka (frameshift mutation). Kedua strain
itu juga memiliki mutan-mutan lain yang mernungkinkannya semakin tepat
digunakan unluk memanipulasi ekperimental (Russel, 1992). Mutan-mutan lain itu
misalnya yang menyebabkannya semakin sensitif terhadap mutagenesis akibat
aktivasi sistern perbaikan, serta yang menyebabkan sel semakin permiabel
terhadap molekul organik asing (Ayala, dkk., 1984). Perhatikan bagan uji Ames
pada Gambar 3.7 (Corebima,
2011).
Pada Gambar 3.7 itu
terlihat bahwa hati tikus dihancurkan dan disentrifugasi agar pecahan-pecahan
sel mengendap (Russel, 1992), Selanjutnya enzim hati tikus diambil dari super
muatan dan ditambahkan pada suatu kultur cair dari S. typhimurium yang
tergolong auksotrofik bersama-sama dengan senyawa kimia yang sedang diuji.
Dalam hubungan ini dirancang pula suatu eksperimen kontrol yang tidak
melibatkan senyawa kimia yang sedang diuii itu.
Gambar 3.7
Bagan kerja uji Ames untuk mengkaji
peluang senyawa-senyawa menjadi agen mutasi (Russel, 1992 dalam Corebima, 2011).
Berkenaan dengan enzim
dari hati tikus penggunaan enzim tersebut uji Ames ini didasarkan pada
kenyataan bahwa pada makhluk hidup, misalnya pada manusia, enzim hati
berkemampuan mengurangi daya toksisitas, serta pada kasus-kasus tertentu
sebenarnya berkemampuan menambah daya toksisitas berbagai senyawa kimia
termasuk banyak mutagen potensial (Russel, 1992). Dalam hal ini penggunaan
enzim itu rnemungkinkan orang untuk menetapkan apakah sesuatu senyawa kimia itu
sebenarnya tidak bersifat mutagen jika
diproses di dalarm hati
(Corebima, 2011).
Campuran-campuran (pada
Gambar 3.7 misalnya campuran eksperimen 1, 2, dan kontrol) itu ditetapkan ke
dalam medium yang tidak mengandung histidin. Lebih lanjut akan diperiksa
revertan-revertan strain S. typhimurium hasil mutasi balik melalui
mutasi pergantian basa, atau melaui muteasi pengubah rangka (Corebima, 2011).
Revertan-reverlan
strain S. typhimurium yang diberikan itu diharapkan dapat berupa his+.
Revertan his+ ini memang dapat diketahui karena mampu
membentuk koloni medium yang tidak mengandung histidin. Dalam hubungan ini jika
revertan his+ ditemukan lebih banyak pada cawan yang berisi
carnpuran senyawa kimia yang diuji dibanding pada cawan kontrol, maka
senyawa-senyawa itu adalah suatu agen mutasi (mutagenik). Dalam hal ini jumlah
kalori yang tumbuh pada cawan kontrol menunjukkan laju reversi spontan pada
bakteri yang diuji. Lebih lanjut jika lebih banyak koloni ditemukan pada
cawan-cawan eksperimental, hal itu menunjukkan bahwa senyawa kimia itu
menginduksi mutasi. Akan tetapi apakah senyawa kimia itu merupakan suatu
karsinogenik atau bukan, hal itu tidak dapat dipastikan melalui uji Ames (Russel,
1992). Pada saat ini uji Ames sudah berhasil mengidentifikasi sejumlah besar
agen mutasi (rnutagen) dari antara berbagai senyawa kimia di lingkungan kita
seperti zat aditif pewarna rambut, kloroda vinil, pewarna rnakanan tertentu dan
berbagai senyawa alami
(Corebima, 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar