Kamis, 02 Mei 2013

LAJU MUTASI DAN DETEKSI MUTASI


LAJU MUTASI DAN DETEKSI MUTASI

A. LAJU MUTASI
Ada dua parameter yang digunakan untuk mengukur kejadian mutasi yaitu laju mutasi (mutation rate) dan frekuensi mutasi (mutation frequency). Laju mutasi menggambarkan peluang sesuatu macam mutasi tertentu sebagai suatu fungsi dari waktu; sedangkan frekuensi mutasi adalah jumlah kejadian sesuatu macam mutasi tertentu pada suatu macam populasi sel atau populasi individu (Russel, 1992 dalam Corebima, 2011).
Pada umumnya laju mutasi yang teramati rendah, tetapi beberapa gen jelas terlihat sering bermutasi daripada yang lainnya (Ayala, dkk., 1984). Yang dimaksud di sini tentu saja yang berhubungan dengan mutasi spontan, sebagaimana yang juga dikemukakan oleh Gardner, dkk., (1991). Dikatakan bahwa mutasi spontan jarang terjadi, sekalipun frekuensi yang teramati berbeda dari gen ke gen maupun dari makhluk hidup ke makhluk hidup. Laju mutasi gen-gen tertentu pada berbagai makhluk hidup ditujukkan pada Tabel 3.1; sedangkan frekuensi mutasi spontan di lokus-lokus tertentu pada berbagai makhluk hidup ditunjukkan pada Tabel 3.2.( Corebima, 2011)
Sudah disebutkan sebelum ini bahwa pada umumnya laju mutasi yang teramati rendah (Ayala, dkk., 1984); demikian pula mutasi spontan jarang terjadi sekalipun frekuensi yang teramati berbeda dari gen ke gen maupun dari makhluk hidup ke makhluk hidup (Gardner, dkk., 1991). Dalam hal ini tersirat bahwa kesimpulan tentang laju mutasi yang teramati rendah serta mutasi spontan yang jarang terjadi itu didasarkan pada mutasi yang dampaknya teramati (terdeteksi); dan sama sekali tidak termasuk mutasi yang dampaknya tidak teramati (tidak terdeteksi), apalagi mutasi yang sudah sempat diperbaiki (Corebima, 2011).




Tabel 3.1
Laju mutasi gen-gen tertentu pada berbagai makhluk hidup  (Ayala, dkk., 1984 dalam Corebima, 2011)










Tabel 3.2
Frekuensi mutasi di lokus-lokus tertentu pada berbagai makhluk hidup (Russel, 1992 dalam Corebima, 2011)

Oleh karena itu laju mutasi pada Tabel 3.1 ataupun frekuensi mutasi spontan pada tabel 3.2 tentu saja hanya didasarkan pada mutasi yang dampaknya teramati (terdeteksi). Hal tersebut sejalan dengan informasi dari Gardner, dkk., (1991). Dalam hal ini dikatakan bahwa pengukuran frekuensi mutasi ke depan (forward mutation) berkisar sekitar 10-8 hingga 10-10 mutasi yang dapat terdeteksi per pasangan nukleotida per generasi (periksa juga Tabel 3.1 dan 3.2); demikian pula untuk makhluk hidup eukariotik, perkiraan mutasi ke depan (forward mutation) berkisar sekitar 10-7 hingga 10-9 mutasi yang dapat terdeteksi per pasangan nukleotida per generesi (hanya didasarkan pada gen-gen yang dutanya cukup tersedia; periksa juga Tabel 3.1 dan 3.2) (Cerebima, 2011).
Mari kita perhatikan laju mutasi dan frekuensi mutasi yang tidak hanya didasarkan pada mutasi yang dampaknya teramati (terdeteksi); tetapi juga berdasarkan pada mutasi yang dampaknya tidak teramati (terdeteksi); maupun pada mutasi yang sudah sempat diperbaiki. Dalam hubungan ini mudah dipahami bahwa laju mutasi dan frekuensi yang mutasi tidak hanya didasarkan pada mutasi yang dampaknya teramati (terdeteksi) semacam itu, sebenarnya tidak rendah (bahkan mungkin sangat tinggi). Berkenaan dengan hal ini, dalam batas mutasi yang terjadi karena perubahan tautomerik, dikatakan bahwa lebih banyak mutasi yang terjadi daripada yang benar-benar terdeteksi, jika sebagian besamya tidak diperbaiki (Russel, 1992 dalam Corebima, 2011).
Sebagaimana yang telah dikemukakan laju mutasi (yang terdeteksi) secara individual memang rendah. Akan tetapi jika diperhatikan kenyataan bahwa tiap individu makhluk hidup mempunyai banyak gen, dan tiap spesies tersusun dari banyak individu, maka (dalam batas mutasi yang terdeteksi sekalipun) sebenarnya mutasi merupakan peristiwa yang biasa, tidak jarang (Ayala, dkk. 1984dalam Corebima, 2011)
Pengukuran laju mutasi spontan pada bakteri dan fag relatif mudah dibandiing pengukuran pada kelompok-kelompok makhluk hidup yang lebih tinggi (Ayala, dkk., 1984). Pengukuran laju mutasi yang lebih mudah pada bakteri dan fag tersebut disebabkan karena kromosom kelompok-kelompok makhluk hidup itu tergolong monoploid; demikian pula pengukuran atau pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan atas sejumlah besar populasi. Pada kelompok-kelornpok makhluk hidup yang lebih tinggi, pengukuran laju mutasi memang menjadi lebih sulit karena beberapa sebab. Kromosom kelompok-kelompok makhluk hidup yang lebih tinggi bukan monoploid, tetapi (terutama) diploid; keadaan kromosom yang bukan monoploid, (misalnya diploid) memang menyebabkan mutan resesif tidak terdeteksi jika berada dalam kondisi heterozigot. Disamping itu pengukuran atau pemeriksaan laboratorium tidak dapat dilakukan atas sejumlah besar populasi (Corebima, 2011).
Kebanyakan  penelitian tentang mutasi pada kelompok-kelompok makhluk hidup yang lebih tinggi sudah tidak lagi berhubungan dengan mutasi gen tunggal karena sangat jarang (Ayala, dkk., 1984); dan yang dilakukan adalah pengkajian mutasi seluruh kromosom. Terkait dengan hal tersebut, misalnya pada 1927 H. J. Muller merancang suatu cara cepat dan mudah untuk mempelajari mutasi. Cara kajian mutasi itu sudah diterapkan untuk memeriksa mutasi letal yang terpaut kromosom kelamin  pada sperma Drosophila. Untuk keperluan kajian itu dirakit kromosom kelamin X yang disebut kromosom X Muller-5 atau Muller-5 X chromosome. Dalam hal ini kromosom X diberi penanda mutan Bar (B) yang semidominan dan mutan apricot (wa) yang resesif. Kromosom tersebut juga sudah diupayakan sehingga mengalami inversi untuk menekan (menghalangi) peristiwa pindah silang. Contoh pengkajian mutasi letal resesif terpaut kromosom kelamin X pada Drosophila ditunjukkan pada Gambar 3.1. (Corebima, 2011)
Pada Gambar 3.1 itu terlihat bahwa individu betina yang merniliki kromosom Muller-5 homozigot disilangkan dengan individu jantan wild-type. lndividu jantan wild-type inilah yang akan dideteksi mutan letalnya yang resesif dan yang terpaut kromoson kelamin X. Turunan I yang dihasilkan adalah individu betina heterozigot (satu kromosom kelamin X berupa kromosom Muller-5, kromosom yang lainnya adaiah yang hendak dideteksi mutan letalnya yang resesif), sedang individu jantan pada turunan I ini merupakan pejantan Muller-5. Turunan I selanjutnya disilangkan sesamanya untuk memunculkan turunan II.
Gambar 3.1
Teknik Muller-5 untuk mendeteksi mutasi letal yang terpaut krornosom  kelamin X pada Drosophila (Ayala, dkk., 1984 dalam Corebima, 2011)

Dalam hal ini jika pada turunan II muncul juga individu jantan wild-type, maka kenyataan tersebut membuktikan bahwa kromosom X yang dideteksi tidak mengandung sesuatu mutan resesif letal. Sebaliknya jika pada turunan II tidak ditemukan individu jantan wild-type, maka hal ini membuktikan bahwa kromosom X yang terdeteksi memang mengandung sekurang-kurangnya satu mutan resesif letal. Berkenaan dengan teknik deteksi mutan letal resesif semacam itu, pernah terungkap bahwa dari 6346 individu turunan I yang disilangkan dengan pejantan Muller-5, diantaranya diketahui mengandung mutan letal resesif terpaut kromosom kelamin X yang baru terbentuk. Atas dasar data itu dinyatakan bahwa  laju suatu mutasi spontan per kromosom adalah sebesar 0,13%. Kajian lebih lanjut selanjutnya menunjukkan bahwa laju mutasi spontan letal yang terpaut kromosom kelamin X antar strain berkisar antara 0,008% hingga lebih dari 1% (Corebima, 2011).
Persilangan pada Gambar 3.1 juga memungkinkan pengkajian lebih lanjut terhadap pemulihan kromosom X yang mengandung (membawahi) mutan letal yang baru terbentuk (Ayala, dkk., 1984), karena kromosom-kromosom terebut dimiliki oleh individu betina dalam kondisi heterozigot berpasangan kromosom Muller-5, serta pindah silang pada kromosom X memang telah dihalangi. Tipe persilangan tersebut juga bermanfaat untuk pemulihan mutan resesif yang baru terbentuk dan yang efeknya dapat terlihat; demikian pula bermanfaat untuk pemulihan mutan betina mandul maupun jantan mandul yang resesif (Corebima, 2011).
Teknik Muller-5 untuk pengukuran laju mutasi juga bermanfaat untuk mendeteksi agen-agen penyebab mutasi (Ayala, dkk., 1984). Dalam hubungan ini H.J. Muller memang telah membuktikannya. Melalui teknik ini sudah dibuktikan bahwa radiasi sinar X sangat meningkatkan laju mutasi. Yang dilakukan adalah mengamati mutan-mutan pada turunan dari individu jantan Drosophila yang sebelumnya telah diradiasi dengan sinar X. Dalam hal ini setelah diradiasi individu jantan itu disilangkan dengan individu betina Muller-5 yang homozigot. Hasil deteksi dengan teknik Muller-5 ini memperlihatkan bahwa pada umumnya frekuensi mutasi berbanding langsung dengan dosis sinar X yang dinyatakan dalam unit rontgen. Perhatikan Gambar 3.2.
Gambar 3.2
Radiasi sinar X meningkatkan frekucnsi mutasi letal yang terpaut kromosom kelanmin X pada Drosophila yang berbanding langsung terhadap dosis radiasi (Ayala, dkk., 1984 dalam Corebima, 2011)

Pembuktian senyawa kimia pertama sebagai mutagen juga dilakukan dengan teknik Muller-5 (Ayala, dkk., 1984), Dalam hal ini selama perang dunia II sudah dibuktikan perlakuan gas mustard terhadap Drosophila jantan dalam dosis subletal mengakibatkan terjadinya mutasi letal pada kromosom X dalam frekuensi tinggi, yaitu sebesar 7,3%. Dewasa ini uji Muller-5 merupakan komponen penting dalam proses pemeriksaan untuk mendeteksi polutan lingkungan yang mungkin bersifat mutagenik.

B. DETEKSI MUTASI
Sebelum para ahli genetika. mempelajari secara langsung proses mutasi atau rnendapatkan makhluk hidup mutan untuk keperluan penelitian genetik, mereka harus dapat mendeteksi rnutasi (Klug dan Cummings, 1994). Pada bagian ini akan dibahas deteksi mutasi pada bakteri, jamur, Drosophila, tumbuhan tinggi, dan manusia (Corebima, 2011).

1. Deteksi Mutasi pada Bakteri dan Jamur
Deteksi mutasi pada mahluk hidup monoploid semacam bakteri dan jamur sangat efisien. Dalam hal ini deteksi mutasi tergantung kepada suatu sistem seleksi yang mudah memisahkan sel-sel mutan dari yang bukan mutan. Prinsip-prinsip umum deteksi mutasi pada bakteri dan jamur tidak berbeda (Klug dan Cummings, 1994). Sebagai gambaran, penjelasan lebih lanjut didasarkan atas deteksi mutasi nutrisional pada jamur Neurospora crassa (Corebima, 2011).
Neurospora crassa adalah jamur yang bersifat monoploid (haploid) pada fase vegetatif. Oleh karena itu deteksi mutasi pada fase itu dapat mudah dilakukan dibanding pada makhluk hidup lain. Rincian prosedur deteksi mutan nutrisional pada N. Crassa ditunjukkkan pada Gambar 3.3.
Pada gambar 3.3 (a) itu terlihat bahwa konidia monoploid yang mengandung sesuatu mutan dapat dideteksi dan diisolasi atas dasar kegagalannya tumbuh pada suatu medium lengkap. Pada gambar 3.3 (b) dan 3.3 (c) segera sesuatu mutan sudah dideteksi dan diisolasi, senyawa yang hilang (tidak ada) dapat ditetapkan melalui upuya menumbuhkan strain mutan pada sederet tabung yang masing-masingnya mengandung medium minimum yang diberi suplemen sesuatu senyawa. Pada contoh penjelasan ini (misalnya) mutan yang sudah dideteksi dan diisolasi tadi terbukti dapat tumbuh pada medium minimum yang diberi suplemen tirosin. Oleh karena itu.dapat dipastikan bahwa mutasi yang dideteksi adalah suatu mutasi auksotrof tirosin atau tyr-, atau mutasi tersebut adalah suatu mutan auksotrof tirosin (mutan auksotrof adalah baru dapat hidup atau tumbuh jika pada medium minimal diberi sesuatu suplemen tertentu)
Gambar 3.3
Induksi, isolasi, dan karakterisasi mutan auksorofik pada N. Crassa.
Pada (a) konidia 1 terkena mutasi tetapi konidia 2 terkena mutasi.
Pada (b) mutasi yang sudah terjadi dikaji (diperiksa) dan diketahui bahwa mutasi tcrsebut mempengaruhi biosintesis tirosin (Klug dan Cummings, 1994 dalam Corebima, 2011).

2. Deteksi Mutasi pada Drosophila
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada pengukuran laju mutasi letal resesif yang terpaut kromosom kelamin X digunakan teknik Muller-5. Teknik ini seperti diketahui, dikembangkan oleh H. J. Muller. Sebenarnya teknik Muller-5 juga merupkan suatu teknik deteksi mutasi pada Drosophila; dan disebut juga sebagai teknik CIB; C adalah suatu inversi yang menekan (mengalangi) peristiwa pindah silang, I adalah suatu alela letal resesif, sedangkan B .adalah suatu duplikasi gen dominan yang memunculkan mata Bar (Klug dan Cummings, 1994 dalam Corebima, 2011).
Selain teknik Muller-5 atau teknik CIB, H.J.Muller juga mengembangkan teknik deteksi mutasi pada Drosophila yang lain yaitu teknik atau prosedur kromosom X berlekatan atau attached-X procedure (Klug dan Cummings, 1994). Pada teknik kromosorn X berlekatan, digunakan individu betina yang memiliki kromosom X berlekatan (tempat perlekatan kedua kromosom X tersebut adalah pada sentromer). Teknik ini dimanfaatkan untuk mendeteksi mutasi morfologi yang resesif bahkan lebih sederhana, karena hanya satu generasi yang dibutuhkan. Secara operasional susunan kromosom kelamin individu betina adalah dua kromosom X yang berlekatan pada sentromer, dan sebuah kromosom Y; susunan tiap pasang otosom normal. Jika individu betina semacam itu disilangkan dengan individu jantan yang berkromosom kelamin normal (XY), maka akan dihasilkan 4 tipe turunan. Keempat tipe turunan itu adalah individu betina yang memiliki 3 kromosom X (mati), individu betina berkromosom kelamin XXY (kromosom X berlekatan; hidup), individu jantan berkromosom kelamin YY (mati), serta individu jantan berkromosom kelamin XY (yang mewarisi kromosom X dari induk jantan, sedangkan kromosom Y diwarisi dari induk betina; hidup).
Bagan deteksi mutasi yang menggunakan teknik kromosom X berlekatan ditunjukkan pada Gambar 3.4. Pada gambar itu terlihat bahwa induk jantan, yang sudah mendapat perlakuan dengan sesuatu agen mutasi, akan menghasilkan turunan jantan  (turunan 1) yang mengekspresikan sesuatu gen mutan resesif terpaut kromosorn kelamin X hasil perlakuan mutasi sebelumnya (Corebima, 2011).
Gambar 3.4
Teknik kromosom X berlekatan untuk deteksi mutasi morfologi yang diinduksi pada Drosophila (Klug dan Cummings, 1994 dalam Corebima, 2011)

Dewasa ini teknik Muller-5 (CIB) maupun teknik kromosom X berlekatan juga sudah dirancang untuk mendeteksi mutasi letal resesif pada otosom Drosophila (Klug dan Cummings, 1994). Walaupun penerapannya pada otosom lebih sulit, teknik-teknik tersebut terbukti cukup efisien (Corebima, 2011).

3. Deteksi Mutasi pada Tumbuhan Tinggi
Banyak variasi morfologi tumbuhan tinggi dapat dideteksi secara sederhana melalui pengamatan visual. Di samping itu ada juga teknik yang digunakan untuk mendeteksi mutasi-mutasi biokimiawi (Klug dan cummings, 1994).Teknik pertama adalah melalui analisis komposisi bikimia. Contoh teknik pertarna adalah misalnya isolasi protein dari endosperm jagung, hidrolisis protein-protein itu, serta penetapan komposisi asam amino sudah menunjukkan bahwa dibanding galur-galur bukan mutan, mutan opaque 2 mengandung lebih banyak lisin. Pada saat ini memang para ahli genetika secara rutin rnenganalisis komposisi asam amino yang terkandung pada strain-strain baru tanaman biji-bijian, seperti jagung, padi, gandum, jewawut dan sebagainya. Seperti diketahui, hasil analisis-analisis itu bermanfaat untuk melawan sakit kurang gizi (malnutrisi), yang diakibatkan oleh ketidakcukupan protein atau bahkan ketiadaan asam amino esensial tertentu dalam makanan (Corebima, 2011).
Teknik deteksi mutasi kedua pada tumbuhan melibatkan kultur jaringan galur-galur sel tumbuhan pada medium yang sudah tertentu. Dalam hal ini sel-sel tumbuhan diperlukan sebagai mikroorganisme; kebutuhan biokimiawi dapat ditetapkan dengan cara menambah dan mengurangi nutrien-nutrien dalam medium kultur. Teknik kedua ini memiliki keuntungan lain, karena teknik yang berhubungan dengan mutan letal kondosional dapat digunakan terhadap sel-sel turnbuhan pada kultur jaringan, dan selanjutnya diterapkan untuk genetika tumbuhan tinggi, demikian pula teknik ini merupakan suatu sistem deteksi yang umumnya tidak bermanfaat dalam hubungan dengan tumbuhan utuh (Corebima, 2011).
Berkenaan dengan teknik kedua tersebut mutasi-mutasi yang peka suhu pada tumbuhan sedang mulai dikaji, terutama pada tembakau; hasil kajian ini dapat menambah pemahaman kita terhadap pertumbuhan, metabolisme serta genetika tumbuhan.

4. Deteksi Mutasi pada Manusia
Deteksi rnutasi pada manusia, misalnya yang berkaitan dengan sifat ataupun kelainan tertentu dilakukan dengan bantuan analisis silsilah (Klug dan Cummings, 1994). Upaya pelacakan melalui analisis silsilah itu dilakukan sejauh mungkin. Segera seteleh sesuatu sifat dipastikan menurun, selanjutnya diramalkan apakah alela mutan itu terpaut kromosom kelamin atau terpaut autosom (Corebima, 2011).
Mutasi dominan paling mudah dideteksi. Jika gen mutan dominan itu terdapat pada kromosom kelamin X maka seorang ayah yang tergolong penderita akan mewariskan ciri fenotip terkait kepada semua anak perempuannya. Sebaliknya jika gen mutan dominan itu terpaut otosom, maka hampir 50% anak (yang berasal dari seorang tua heterozigot) diharapkan mewarisi ciri mutan itu. Perhatikan Gambar 3.5 yang memperlihatkan silsilah hipotetik tentang suatu kelainan yang mempunyai latar belakang mutan dominan terpaut otosom (Corebima, 2011).
Pada Gambar 3.5 itu terlihat bahwa orang tua pada generasi I tidak menderita katarak, tetapi satu (perempuan) dari tiga anak mereka (generasi ll) menderita katarak. Dapat diduga bahwa mutasi awal terjadi pada sebuah gamet dari salah seorang tua mereka (generasi I). Anak perempuan penderita katarak itu mempunyai dua anak satu laki-laki dan satu perempuan (generasi III); anak laki-laki tersebut menderita katarak. Anak laki-laki penderita katarak (generasi III); mempunyai 6 turunan (generasi lV), dan 4 diantaranya menderita katarak.
Gambar 3.5
Satu silsilah hipotetik katarak mata yang mempunyai latar belakang gen mutan dominan terpaut otosom (Klug dan Cumrnings, 1994 dalam Corebima, 2011)

Gambaran silsilah katarak itu memperlihatkan pola pewarisan dominan yang terpaut otosom sekalipun belum terbukti. Sekalipun demikian frekuensi penderita katarak yang tinggi di generasi IV seperti tersebut memperkuat kesimpulan tadi. Dalam hubungan ini adanva turunan perempuan (generasi IV) yang tidak menderita katarak juga semakin mernperkuat kesimpulan termaksud karena sudah pasti gen mutan dominan itu tidak terpaut kromosom kelamin X (jika gen rnutan dominan tersebut terpaut kromosom kelamin X, maka semua turunan perempuan di generasi IV itu pasti merupakan penderita katarak).
Mutasi resesif yang terpaut kromosom kelamin dapat juga dideteksi dengan bantuan anaiisis silsilah. Satu contoh mutan resesif terpaut kromosom kelamin pada manusia adalah yang mengekspresi kelamin hemofili. Salah satu contoh analisis silsilah mutan resesif terpaut kromosom kelamin yang menjadi latar belakang hemofili adalah analisis silsilah hemofili pada turunan Ratu Victoria dari Inggris (Klug dan Cummings, 1994). Perhatikan Gambar 3.6.
Gambar 3.6
Hasil analisis silsilah yang terkait kelainan hemofili pada keluarga dan turunan Ratu Victoria (Russel, 1992 dalam Corebima, 2011)

Dengan memperhatikan.bagan di atas bahwa Ratu Victoria diduga kuat memiliki alela heterozigot untuk kelainan hemofili, sedangkan tidak ada alasan untuk menduga bahwa ibunya seorang carrier sebagaimana sang Ratu (Corebima, 2011).
Alela-alela mutan resesif yang terpaut otosom dapat juga dideteksi melalui analisis silsilah. Sifat fenotif yang berlatar belakang genetik semacam ini biasanya muncul sebentar-sebentar sepanjang sejumlah generasi (Klug dan Cummings, 1994), Seperti diketahui ekspresi fenotif bila yang terpaut otosom "tidak terpaut" pada kondisi heterozigot. Seorang individu pengidap kelainan terkait yang kawin dengan seorang yang norrnal homozigot hanya menghasilkan turunan carrier (bukan pengidap); sedang perkawinan antara dua orang yang sama-sama carrier akan menghasilkan (rata-rata) 25% turunan yang tergolong pengidap (Corebima, 2011).
Selain melalui analisis silsilah dewasa ini deteksi mutasi pada manusia luga dilakukan melalui analisis in vitro. Seperti diketahui sel-sel manusia secara rasio sudah dapat dikultur. Deteksi mutasi melalu analisis in vitro yang memanfaatkan kultur sel, dapat didasarkan pada analisis aktivitas enzim, migrasi protein pada medan elektroforetik, serta pengurutan langsung protein maupun DNA (Klug dan Cummings, 1994). Melalui kajian-kajian itu diketahui pula bahwa antara individu-individu dalam populasi manusia terdapat keanekaragaman genetik yang besar (Corebima, 2011).

5. Uji Ames
Dewasa ini terdapat perhatian khusus tertenlu terhadap peluang senyawa-senyawa kimia yang masuk ke dalam tubuh menjadi agen mutasi. Seperti diketahui senyawa-senyawa kimia itu masuk ke dalam tubuh melalui kulit, saluran pencernaan, atau saluran pernapasan. Berkenaan denga hal ini banyak perhatian antara lain diberikan kepada materi residu polusi udara maupun polusi air, pengawet makanan maupun bahan-bahan aditif, pemanis buatan, herbisida, serta produk-produk farmasi (Russel, 1992; Klug dan Cummings, 1994 dalam Corebima, 2011)).
Pengujian peluang sesuatu senyawa kimia yang masuk ke dalam tubuh seperti termaksud menjadi agen mutasi, dilakukan antara lain dengan bantuan teknik Muller-5 maupun uji Ames (Ayala, dkk., 1984). Teknik Muller-5 sudah dikemukakan, sedangkan uji Ames akan dikemukakan lebih lanjut (Corebima, 20011).
Uji Ames dikembangkan oleh Bruce Ames pada awal 1970-an. Uji Ames menggunakan bakteri Salmonella typhimurium sebagai organisme uji (Russel, 1992). Yang digunakan adalah dua strain S. typhimurium kedua strain itu sama-sama tergolong auksotrofik untuk histidin. Sepcrti diketahui strain yang bersifat auksotrofik untuk histidin adalah yang membutuhkan tambahan histidin dalam medium pertumbuhan agar dapat hidup (tumbuh). Dari kedua strain itu, pada salah satu strain mutan his dapat dikembalikan menjadi his+ oleh suatu mutasi pergantian basa; sedang pada strain lain mutasi his dapat dikembalikan mejadi his+ oleh sualu mutasi pengubah rangka (frameshift mutation). Kedua strain itu juga memiliki mutan-mutan lain yang mernungkinkannya semakin tepat digunakan unluk memanipulasi ekperimental (Russel, 1992). Mutan-mutan lain itu misalnya yang menyebabkannya semakin sensitif terhadap mutagenesis akibat aktivasi sistern perbaikan, serta yang menyebabkan sel semakin permiabel terhadap molekul organik asing (Ayala, dkk., 1984). Perhatikan bagan uji Ames pada Gambar 3.7 (Corebima, 2011).
Pada Gambar 3.7 itu terlihat bahwa hati tikus dihancurkan dan disentrifugasi agar pecahan-pecahan sel mengendap (Russel, 1992), Selanjutnya enzim hati tikus diambil dari super muatan dan ditambahkan pada suatu kultur cair dari S. typhimurium yang tergolong auksotrofik bersama-sama dengan senyawa kimia yang sedang diuji. Dalam hubungan ini dirancang pula suatu eksperimen kontrol yang tidak melibatkan senyawa kimia yang sedang diuii itu.
Gambar 3.7
Bagan kerja uji Ames untuk mengkaji peluang senyawa-senyawa menjadi agen mutasi (Russel, 1992 dalam Corebima, 2011).

Berkenaan dengan enzim dari hati tikus penggunaan enzim tersebut uji Ames ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada makhluk hidup, misalnya pada manusia, enzim hati berkemampuan mengurangi daya toksisitas, serta pada kasus-kasus tertentu sebenarnya berkemampuan menambah daya toksisitas berbagai senyawa kimia termasuk banyak mutagen potensial (Russel, 1992). Dalam hal ini penggunaan enzim itu rnemungkinkan orang untuk menetapkan apakah sesuatu senyawa kimia itu sebenarnya tidak bersifat  mutagen jika diproses di dalarm hati (Corebima, 2011).
Campuran-campuran (pada Gambar 3.7 misalnya campuran eksperimen 1, 2, dan kontrol) itu ditetapkan ke dalam medium yang tidak mengandung histidin. Lebih lanjut akan diperiksa revertan-revertan strain S. typhimurium hasil mutasi balik melalui mutasi pergantian basa, atau melaui muteasi pengubah rangka (Corebima, 2011).
Revertan-reverlan strain S. typhimurium yang diberikan itu diharapkan dapat berupa his+. Revertan his+ ini memang dapat diketahui karena mampu membentuk koloni medium yang tidak mengandung histidin. Dalam hubungan ini jika revertan his+ ditemukan lebih banyak pada cawan yang berisi carnpuran senyawa kimia yang diuji dibanding pada cawan kontrol, maka senyawa-senyawa itu adalah suatu agen mutasi (mutagenik). Dalam hal ini jumlah kalori yang tumbuh pada cawan kontrol menunjukkan laju reversi spontan pada bakteri yang diuji. Lebih lanjut jika lebih banyak koloni ditemukan pada cawan-cawan eksperimental, hal itu menunjukkan bahwa senyawa kimia itu menginduksi mutasi. Akan tetapi apakah senyawa kimia itu merupakan suatu karsinogenik atau bukan, hal itu tidak dapat dipastikan melalui uji Ames (Russel, 1992). Pada saat ini uji Ames sudah berhasil mengidentifikasi sejumlah besar agen mutasi (rnutagen) dari antara berbagai senyawa kimia di lingkungan kita seperti zat aditif pewarna rambut, kloroda vinil, pewarna rnakanan tertentu dan berbagai senyawa alami (Corebima, 2011).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar